Satu hari yang menjadi hari yang paling berat, arkian telah bersulih. Di keesokan harinya, suasana sekolah nampak dihebohkan oleh rapat komite yang diadakan para guru hari ini, menyangkut kekerasan sekolah yang dilakukan oleh Tika dan teman-temannya.
Yang lebih menghebohkannya lagi, Kepala Direktur selaku pemilik sekolah tersebut, ikut hadir dalam rapat komite itu. Jelas saja, beberapa guru dan Kepala Sekolah terlihat begitu kikuk saat menyambut kedatangan Kepala Direktur.
Nampak di dalam ruang rapat tersebut, sudah ada Tika dan teman-temannya, beserta orang tua mereka masing-masing. Beda halnya denganku, yang hanya seorang diri. Nenekku tidak bisa hadir, karena beliau sedang berada di luar kota, berhubung nenekku tidak bisa hadir, maka Selialah yang menggantikan posisi beliau. Seharusnya Carleon, yang menjadi waliku, karena dia suamiku. Tapi keadaan memaksa kami untuk menyembunyikan hal tersebut.
“Ah, selamat pagi, Pak!” semua para guru yang hadir di dalam ruang rapat, langsung bangkit dari duduknya, guna menyoja pada Kepala Direktur yang menuju kursi utama di tengah-tengah arah meja yang bebentuk persegi panjang.
“Baiklah rapatnya akan kita mulai!” ucap Kepala Sekolah.
Selama rapat berlangsung, pertikaian antar wali murid dan para guru terjadi. Wali murid, menyalahkanku karena memukul hidung Tika sampai berdarah dan menyalahkan para guru karena tidak becus mendidik murid sepertiku.
“Apa maksud anda bicara seperti itu!”
“Anda pikir kami ini hanya makan gaji buta? Kami ini bekerja dengan baik!”
“Dengar Bu! Anak-anak mungkin tidak sengaja melakukan hal yang tidak diinginkan ketika mereka bercanda!”
Para guru yang tak tinggal diam, melontakan kalimat mereka yang amburadul.
Ibu Tika yang mengandalkan kekuasan suaminya di sekolah itu jelas saja tak terima, dan tetap kekeh menegaskan bahwa anaknyalah yang menjadi korban kekerasan. Iapun meraung rancu, “Saya akan menghubungi suami saya! Biar sekolah ini jadi viral! Bisa-bisanya kalian mengadakan rapat komite untuk putri saya.”
Wali murid ketiga teman Tikapun terpancing oleh ucapan Ibu Tika. Sehingga ruangan itu digemakan oleh suara-suara mereka.
Tika dan temannya hanya bisa tertunduk tak berdaya, mereka tak bisa membuka suara jika belum diizinkan. Itupun kalau diizinkan mereka takkan bisa bicara, karena bukti nyata ada di ponsel mereka yang sekarang ada di tangan Carleon.
Di antara kekacauan adu mulut itu, Selia selaku guru wali angkat bicara, “Maaf sebelumnya Bu, Tika dan Awelka ini adalah anak didik dari kelas saya. Saya mengenal mereka dengan baik, Awelka tidak mungkin melakukan kekerasan terhadap Tika putri anda. Dan putri anda juga tidak mungkin melakukan kekerasan terhadap Awelka tanpa penyebabnya.”
Ibu Tika mulai geram, “Oh! Jadi kamu wali kelas putriku dan anak itu?” beliau menuding ke arahku sejenak yang hanya menyebar tatapan sengap ke arah mereka.
“Kemana orang tuamu, hah?! Kenapa kamu hanya diam?!” tambah Ibu Tika padaku, dengan bentakkan suaranya.
“Ma! Udah, dong! Hm, oang tuanya udah meninggal.” Tika mendesiskan suaranya ke arah ibunya, seraya menahan kesal tangan ibunya, supaya berhenti bergeletah.
Ibu Tika yang tak berperasaan, lantas langsung mencercaku dari kejauhan, “Oh! Udah meninggal! Pantes, kamu tumbuh jadi anak yang nggak benar, karena nggak ada yang bisa didik kamu di rumah ya, buat jangan mukul anak orang sembarangan! Masa depanmu, emangnya mau jadi preman apa!”
Lontaran kata Ibu Tika itu yang merancung bagai sebilah pedang, merubah suasana di ruang rapat otomatis menyenyat, dan selajur membuat para guru terpegun nanap serentak.
Carleon yang sedari awal hanya jadi penonton di ruang rapat itu karena malas berdebat dengan orang-orang seperti Ibu Tika, lantas menyesar dari duduknya. Wajah suamiku memerah karena marah, ia seperti hendak angkat bicara.
Namun tiba-tiba saja...
TLAK!
Meja rapat ditepuk begitu keras. Bukan Carleon pelakunya, tapi melainkan Kepala Direktur yang sudah tidak tahan karena kehadirannya seperti tidak dihargai, karena mereka bertelingkah di hadapannya yang menyimak rapat tersebut.
Sontak penghuni di dalam ruang rapat langsung tersentak kompak, berpalis, mengerling ke arah Kepala Direktur.
“Pak Carleon!” suara Kepala Direktur terdengar tertekan tegas, sewaktu berbicara, “Anda bilang, anda punya buktinya! Jadi tunjukan sekarang.”
Tika dan teman-temannya lantas saja belingsatan cekang, dan refleks tertegun membeliakkan mata panik.
Carleonpun menghela napas, dan mengeluarkan ponsel milik Tika, memelawakkannya ke atas meja.
Sebuah vidio perundungan Tika terhadapku mulai tayang, melalui benda pipih tersebut. Sontak semua guru dan wali murid menyesar dari duduk mereka, merapati ponsel Tika yang ada di tengah meja, untuk menonton aksi kegilaan yang dklakukan Tika dan teman-temannya.
“Jika sudah begini! Maka anda harus menyalahkan putri kesayangan anda bukan!” kata Kepala Direktur, yang ditujukan untuk Ibu Tika, “Saya akan mengembalikan semua donasi beasiswa yang suami anda berikan selama ini!”
Mendengar hal itu, Ibu Tikapun tertegun berdeham, “P─Pak, tolong jangan seenaknya seperti itu...”
Kepala Direktur nampak statis, menganggap ucapan Ibu Tika sebagai angin lewat. Seraya mulai bangkit dari duduknya, beliau berkata pada Kepala Sekolah, “Pak Kepala Sekolah, katakan pada suami ibu itu, kalau donasinya sudah tidak dibutuhkan lagi di sekolah ini!”
Terlihat Tika hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Tidak ada yang bisa menolongnya sekarang, termaksud kekuasaan ayahnya. Kepala Direktur lebih berhak, memutuskan siapa dan siapa yang pantas berdonasi di sekolahnya.
Kepala Direkturpun berganjak dari tempatnya, pergi meninggalkan ruang rapat.
Sebelum rapat resmi ditutup, Kepala Sekolah memberikan sanksi sesuai peraturan yang ada. Tika yang menjadi dalang atas semuanya, dikeluarkan dari sekolah, sedangkan teman-temannya akan diskors selama beberapa bulan.
Rapatpun ditutup, semua guru satu persatu meninggalkan ruang rapat.
“Tika, sekarang minta maaf pada Awelka.” pinta Selia.
Tika yang tak bergeming sedetikpun, hanya menggertakkan giginya, pandangannya yang ketus mengerling pada Selia lalu ke arah Carleon yang masih duduk memangku tangan, tak jauh dariku dan Selia. Tentu saja Carleon yang di tatap itu, juga tak berkedip meski sedikit. Tatapan ketus, Carleon balas dengan tatapan dingin nan super tajamnya. Anak seperti Tika ini, harus dididik tegas meski melalui tatapan saja.
“Tika cepat minta maaf!” Ibu Tika lantas membentak kesal, tatkala anaknya itu hanya mengatupkan bibir.
Selain teman-temannya yang sudah pergi, hanya tinggal Tika sendirilah yang masih belum meminta maaf padaku. Ibunya yang sudah kesal menunggu, dengan spontannya menepuk teruk punggung Tika, hingga gadis itu meringis.
“Ma─Maafin gue! Gue benar-benar minta maaf!” ujar Tika, memaksakan bibirnya yang lenggana untuk meminta maaf.
Sama seperti Tika, aku juga lenggana memaafkannya. Tapi aku tahu. Tuhan saja maha memaafkan, jadi aku sebagai makhluk ciptaannya, juga harus memaafkan sesamaku.
“Ya! Aku memafkanmu!”
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LITTLE SWEET BIG LOVE [✔]
Короткий рассказSebuah takdir kembali mempertemukan kedua insan yang terpaut usia yang berbeda 13 Tahun, dan menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan. 𝐀𝐰𝐞𝐥𝐤𝐚 𝐕𝐢𝐨𝐫𝐚, gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA, terpaksa menikahi seorang pemuda blasteran...