Tidak ada yang bisa membangunkanku selain mimpi yang berakhir menyeramkan.
Pagi ini aku kembali melihat mereka. Tiga orang pangeran yang mengibaskan pedang ke berbagai arah untuk melawan musuh.
Entah itu di mana.
Namun di sekitarnya hanya ada pepohonan rindang seperti hutan belantara.Ssrt!
Salah satu dari mereka terluka akibat sayatan pedang di lengan kanannya. Akan tetapi pangeran yang sering di panggil Al itu, tak menggubris rasa sakit lukanya. Dia terus menghadang setiap musuh yang mencoba membunuhnya.
Dan karena rasa sakit itulah aku terbangun dan ini masih jam tiga pagi. Aku mencoba mengatur napasku yang memburu akibat melihat peperangan itu.
Melihat? Kurasa tidak! Setiap bermimpi aku selalu merasa hadir di tengah-tengah ketiga pangeran itu. Terutama pangeran dengan rambut hitam kemerahan bernama Aleo. Bukan hanya merasa dekat, tapi aku pun bisa merasakan apa yang dia rasakan.
Seperti malam ini misalnya, kulihat lengan kananku terluka. Ada bekas sayatan hingga buat darah mengalir keluar."Akh..."
Perih sekali!
Lagi, aku mengobati luka di tengah malam. Ya, lagi. Ini bukan untuk pertama kalinya aku melakukan hal serupa. Sudah tak terhitung berapa kali aku mengobati luka sayatan, luka memar di wajah yang muncul dengan sendirinya.
Jika sudah begini, sulit bagiku untuk terlelap lagi. Dan aku selalu memutuskan untuk menuliskan semua mimpi yang kualami di dalam sebuah buku bersampul hitam berjudul Dream In The Soul, hingga matahati terbit.
"Kau belum ganti baju?"
Aku menghentikan kegiatan menulisku. Menoleh ke belakang. Kulihat Kak Altan sudah berkacak pinggang di ambang pintu.
Sudah jam setengah tujuh pagi rupanya. Aku menghela napas. Aku beranjak dari meja belajar.
"Sepuluh menit lagi aku siap. Dan, jangan sentuh buku itu."
Kak Altan hanya mengangguk. Aku masuk ke kamar mandi.
Sepuluh menit, aku menepati ucapanku. Sebelum jam tujuh aku turun ke bawah. Bunda sudah duduk di meja makan, begitu juga dengan Kak Altan.
Bunda tersenyum hangat pagi ini menyambut kedatanganku. Aku membalasnya serupa. Duduk di sebelah Kak Altan.
"Yakk! Kenapa lenganmu?" Kak Altan tampak terkejut, melihat perban membalit lengan kananku.
"Jatuh," balasku sambil mengoleskan selai coklat di atas selembar roti.
Kak Altan menghela napas dia sudah terbiasa dengan jawaban-jawaban singkatku. Sementara itu Bunda hanya tersenyum tipis menatapku.
"Lain kali hati-hati, ya?" Bunda mengusap kepalaku.
"Kalau begitu bunda berangkat," sebelum benar-benar pegi Bunda selalu menyempatkan memeluk kedua putranya.
Ya, hanya kami berdua. Tidak ada suami atau seorang Ayah di rumah ini.
Jangan tanya kemana? Karena aku pun tak pernah tahu dan mungkin tak ingin tahu siapa dia.
Tepat pukul setengah delapan pagi, mobil sedan putih Kak Altan berhenti di depan gerbang sekolahku.
"Tunggu, El!" Aku tak jadi membuka pintu dan menoleh ke samping.
Kulihat dia menghela napas dengan jemarinya menggenggam erat kemudi.
"Jangan bohong!"
"Apanya?"
"Soal lukamu. Sebenarnya apa yang terjadi, semalam luka itu belum ada, kau melakukan self harm?"
Aku menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kelima
FantasyKisah Ellio yang sering di hantui banyak pertanyaan tentang dirinya sendiri. Mengapa dia bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa dia mampu melihat masalalu dan masa depan orang lain hanya dengan menatap wajahnya? Dan bagaimana bisa dia mengendali...