"Ellio, kau bisa dengar aku?"
Aku membuka mata perlahan. Aku terdiam menatap langit-langit kamar dan terpejam lagi dua-tiga detik sebelum akhirnya aku membuka mata sempurna.
Aku menoleh, Al sudah tersenyum padaku.
"Aku di mana?" Tanyaku pelan.
"Di kamar,"
"Di kamar?" Aku menatapnya bingung.
Al mengangguk.
"A-akh!" Perutku masih terasa sakit ketika aku berusaha untuk bangun.
"Jangan memaksakan diri untuk duduk, kau baru saja sadar,"
Aku menatap lama-lama Al yang duduk selonjoran dan bersandar di kelapa kasur. Kulihat wajahnya tampak segar, dia tidak terlihat sedang sakit atau terluka. Tapi...
"Kau lihat, satu lagi saudaramu berhasil mati ditanganku. Ini akan menjadi kabar mengejutkan bagi kerajaanmu bukan?"
Kejadian itu?
"Apa itu mimpi?" Gumamku pelan namun masih bisa Al dengar.
"Tentu saja bukan!" Jawabnya.
"Ah?" Mataku melebar.
"Kejadian sore itu benar-benar nyata. Dan kau baru bangun setelah sepuluh hari tidak sadarkan diri!" Katanya dan berhasil buat aku terbelalak.
"S-sepuluh hari?"
Al mengangguk dengan santai.
"Lalu kau?"
"Aku sudah sadar dari lima hari yang lalu. Dan sekarang aku sedang masa pemulihan,"
"Apa separah itu luka yang aku terima?"
Al kembali memangguk.
"Luka dalammu cukup parah, El. Kau hampir tidak terselamatkan, sampai-sampai mereka harus berulang kali melakukan ritual pemberian energi padamu,"
"Mereka?"
"Ravendra, Ishan, Altan dan Zalwa. Mereka berempat begitu bekerja keras untuk menyelamatkanmu,"
Aku menghela napas.
"Jangan bilang kalau kau juga memberikan energi padaku?"
"Mau tidak mau,"
"Aiss, kau ini! Kondisimu saja belum benar-benar pulih-" aku kesal.
"Jangan marah! Pada akhirnya setelah aku ikut memberikan energi padamu tiga hari terakhir ini, kau bangun juga," Al memotong perkataanku dan tersenyum.
Aku kembali menghela napas lantas terdiam mengingat apa yang sudah terjadi. Jangan tanya berapa banyak yang kuingat, tentu saja aku mengingat semuanya! Termasuk momen ketika dekapan hangat itu jatuh memeluk tubuhku yang tak berdaya kemarin.
"Ah!" Mataku melebar.
"Di mana Bunda?"
"Bunda ada di kamarnya,"
"Bagaimana keadaannya?"
"Bunda baik-baik saja," Al tersenyum tipis.
Aku diam memperhatikannya sejenak.
Tidak! Senyumnya itu dusta! Jelas-jelas aku dapat melihat pancaran mata dan raut wajah kesedian padanya.
Aku menggeleng pelan bersama tatap kecewa. "Kau bohong!"
"El-"
Aku membuka selimut dan turun dari kasur.
"Kau mau ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kelima
FantasyKisah Ellio yang sering di hantui banyak pertanyaan tentang dirinya sendiri. Mengapa dia bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa dia mampu melihat masalalu dan masa depan orang lain hanya dengan menatap wajahnya? Dan bagaimana bisa dia mengendali...