Jingga Kedua

1.3K 168 15
                                    

"Zalwa,"

Arun memecah keheningan diantara kami. Remaja berpenampilan ala pemain basket itu menghampiri adiknya lantas memeluknya erat.

"Kau tak apa?" Tanyannya dalam pelukkan.

Zalwa mengangguk sambil terisak kecil dalam dekapan kakaknya.

Aku dan Al menoleh pada mereka berdua. Kak Altan dan Ishan pun demikian. Terutama Ishan, dia berjalan pelan dalam kondisi menahan sakit, menghampiri kedua adik bungsunya itu dan memeluk mereka.

Iya, Arun!

Kalian tidak usah kaget atau mungkin bertanya 'kenapa?' Biar aku jelaskan.

Kalian ingat di hari kematian Arun, Qianu membisikan sesuatu padaku?

Iya, bisikan muslihat itu!

Dalam bisikkannya, Qianu menitahku untuk mencabut tombak gaib dari dada Arun. Lantas memberikan tetesan air mata suci Ishan pada luka di dadanya.

Dan kalian tahu apa yang terjadi?

Setelah aku mencabut tombak itu dari dadanya dan memberikan beberapa tetes air mata suci Ishan yang sudah ditampung dalam botol kecil, kami melihat ada setitik cahaya kuning yang muncul dari luka di dadanya. Hingga cahaya itu menjalar ke seluruh tubuh Arun.

Beberapa saat kami menunggu dan memperhatikan apa yang terjadi pada Arun, hingga kami berlima menyaksikan dada pangeran keenam itu terlonjak dan terbatuk kencang mengeluarkan cairan merah kental dari mulutnya.

Napasnya tersengal-sengal, bak menimba aliran udara agar kembali mengisi paru-parunya.

"Arun?" Ishan mengelus puncak kepala adiknya.

Arun belum merespon sampai kedua matanya benar-benar terbuka sempurna.

"Ishan?" Ucapnya pelan nyaris berbisik dalam lemah kondisinya.

Di detik itu juga air mata bahagia kami pecah, mendapatkan Arun selamat dari mautnya.

Air mata suci Ishan benar-benar bekerja. Semesta masih mengizinkan pangeran keenam itu merajut perjalanannya lagi.

Saat itu malam semakin larut, bahkan kicauan burung hantu terdengar di mana-mana. Namun kami berlima nekad untuk membawa Arun keluar dari istana.

Seperti rencananya, di hutan timur kerajaan, Kakek Zam sudah menunggu kedatangan kami. Dia berdiri diantara dua pohon pinus kembar, dan menggerakan kedua tangannya membuka sebuah gerbang portal yang menghubungkan Tanah Jingga dengan dunia manusia.

Kakek Zam menerima tubuh Arun yang terkulai lemah. Ya, setelah beberapa saat Arun tersadar, dia kembali jatuh pingsan.

"Kalian tidak perlu khawatir, biar aku yang merawat Arun di sana." Katanya sambil memangku Arun.

Aku mengangguk. "Mohon bantuannya, Kek,"

Kakek Zam mengangguk dan tersenyum tipis sebelum menghilang di balik portal.

Dan entah apa yang beliau lakukan di sana hingga Arun terlihat segar bugar layaknya seorang atlet basket remaja sekarang.

"Kenapa kau lama sekali kupanggil?" Zalwa protes kecil setelah melepaskan pelukannya.

"Maaf tadi aku sedang di lapangan, aku tidak sadar jika liontin di kalungku menyala. Itu pun aku tahu setelah temanku yang memberi tahu, dari situ barulah aku cepat-cepat pulang menembus dinding portal," jelas Arun.

"Maaf aku terlambat," ucap Arun penuh penyesalan.

"Kau tidak terlambat Arun, terima kasih sudah membantu kami," Ishan mengelus puncak kepala Arun.

Pangeran KelimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang