Tidak ada Arun di meja makan pagi ini, dan hal itu buat kami bertanya-tanya dalam diam saat sarapan tadi.
"Arun kemana?" Ishan melontarkan pertanyaannya pada si Bungsu setelah Ayahanda dan Ibunda keluar dari ruang makan.
"Arun ada di kamar," jawab Zalwa.
"Apa dia sedang sakit?" Tanya Ravendra.
Zalwa menggeleng pelan. "Entahlah, aku juga tidak paham."
"Tidak paham bagaimana maksudmu, jelaskan yang benar!" Balas Kak Altan.
"Bilang saja Arun kenapa?" Ucap Al yang duduk di sebelah kirinya.
Aku yang duduk di sebelah kanan Zalwa hanya diam menatap adik bungsuku ini yang sedikit menundukkan kelapanya.
"Akhir-akhir ini Arun terlihat aneh," katanya tanpa menatap kelima kakaknya.
"Aneh bagaimana maksudmu?" Tanya Ravendra.
"Dia sering melamun seperti ada yang sedang mengganggu pikirkannya, dia sering terlihat cemas dan gelisah. Arun juga sering menangis tanpa aku tahu apa sebabnya. Terus juga..."
Kami berlima menatap Zalwa seksama, menunggu kelanjutan penjelasannya.
"Dan?" Tanya Ishan.
"Akhir-akhir ini Arun sepertinya sering mimpi buruk. Dia sering berteriak ketakutan ketika tertidur bahkan tak jarang sampai membuatnya terbangun."
Aku menatap wajahnya yang masih tertunduk kecil itu lama-lama. Aku mencoba untuk menangkap kejadian yang Zalwa ceritakan.
Hampir setiap malam Zalwa terbangun karena suara Arun yang mengigo di sampingnya. Zalwa memperhatikan kakak keenamnya itu.
"Pergi! Pergi dari sini!"
"Tolong jangan mendekat! Kumohon!"
"Jangan! Jangan bunuh aku!"
"PERGIIIII!!!"
Zalwa terlonjak kaget ketika Arun duduk terbangun seketika sambil berteriak.
Wajah pucat pasih berhias bulir keringat di keningnya itu tampak ketakutan. Arun yang menemukan adiknya tengah menatapnya khawatir, bergegas turun dari kasurnya dan masuk ke kamar mandi.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada Arun?" Pikirku.
***
Ini hari libur, tidak ada kegiatan belajar mengajar. Semua pangeran Arsakha berpencar, sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Ravendra lebih memilih duduk berbincang dengan Ayahanda, Kak Altam memilih membaca buku di kamar dan si bungsu, dia ikut bersama Ibunda mengunjungi sebuah perkampungan di kawasan Barat Istana, sementara Ishan mengisi waktunya untuk membawa Al ke Haspatal, memeriksakan kondisi paha kaki kanan Al yang terluka sayat akibat sayatan yang aku alami.
Begitupun denganku. Si pangeran kelima ini memilih untuk menginjakan kaki di pinggir danau, tempat dimana Arun berada.
Kuhampiri dia dan berdiri sejajar dengannya.
"Kau di sini rupanya," kataku sambil menatap lurus hamparan danau.
Arun tidak menjawab, hanya terdwngar helaan napas dari mulutnya.
"Tadi pagi para pangeran menanyakanmu. Jadi?" Aku menoleh pada Arun.
"Jadi apanya?" Ucapnya pelan.
"Kenapa kau tidak ikut sarapan?"
"Aku tidak lapar," katanya.
"Mm... benarkah?" Aku memiringkan posisi berdiri kemudian memiringkan posisi berdiri Arun hingga kami berdiri saling berhadapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kelima
FantasyKisah Ellio yang sering di hantui banyak pertanyaan tentang dirinya sendiri. Mengapa dia bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa dia mampu melihat masalalu dan masa depan orang lain hanya dengan menatap wajahnya? Dan bagaimana bisa dia mengendali...