Tawa ceria itu berpadu dari ketujuh pangeran yang baru saja selesai menghadiri penyerahan gelar putra mahkota kepada Ravendra. Di saksikan oleh seluruh mentri dan keluarga kerajaan Ravendra resmi menyandang kembali gelar Putra Mahkotanya.
"Sejujurnya kita harus berterima kasih kepada El, berkat dia, kita tidak perlu bersusah payah mengikuti kompetisi itu," ucap Ravendra yang duduk di bangku panjang taman yang dihipit oleh dua bungsu-Arun dan Zalwa.
"Kau benar Ravendra," Ishan merangkul pundakku.
"Terima kasih banyak, El." Sambungnya.
"Terima kasih, El..." sahut Arun dan Zalwa bersamaan.
Sementara Al, dia meluapkan rasa terima kasihnya dengan mengacak-ngacak rambutku. Dan Kak Altan? Ah... sudahlah jangan tanyakan dia. Anak itu hanya diam membisu, berdiri di belakang punggung Ravendra.
Kak Ravendra menghela napas. Wajahnya mengambarkan ketenangan, dia tampak lega dengan situasi dan kondisi saat ini. Bukan karena mahkota yang kembali terpasang di atas kepalanya, akan tetapi kelegaan hatinya yang disebabkan oleh rasa syukur akan kebersamaan dengan keenam adiknya.
"Astaga... aku tidak percaya kalian berdua ada. Semenjak pergi dari istana ini aku dan Ishan hanya meninggalkan tiga orang adik, Altan, Al dan El, tapi saat kembali kami disambut oleh lima orang adik. Aku sempat bingung kapan kalian lahir?" Ravendra mengelus kepala kedua adik bungsunya itu.
Arun dan Zalwa tersenyum mendengarnya.
"Mereka tidak lahir dari perut Ibunda, mereka di temukan di dalam timun suri di kebun belakang Istana." Gurauanku mengundang gelak tawa Al dan Ishan. Sementara Kak Altan, dia tersenyum menahan tawanya yang hampir meledak.
Aku pun malah ikut menertawakan leluconku sendiri dan membuat Arun dan Zalwa menatapku jengkel.
"Aiss!" Umpat kedua bungsu itu.
"Sudah, El hanya bercanda. Jangan di masukan ke hati." Ravendra mencoba menenangkan kedua adik bungsunya itu.
"Oh, ngomong-ngomong ke mana kalungmu, Zalwa?" Tanya Ravendra yang tak menemukan kalung berliontin hijau itu menggantung di leher adik bungsunya.
"Eoh?" Zalwa tampak panik dan bingung dibuatnya.
"K-kalung-" ucapan Zalwa tertahan.
Kulihat Arun pun tampak was-was sendiri, dia menggigit bibir bawahnya. Takut-takut Zalwa akan terkena marah semua kakak-kakaknya jika tahu kalau kalung itu hilang saat mereka bermain di dunia manusia.
"Jangan bilang kalau kalungmu hilang?" Ucap Kak Altan.
Ah... dasar anak itu! Memancing keributan saja! Sudah tahu masih saja bertanya.
Zalwa tersenyum kaku.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?" Tanya Ishan.
"Kau benar-benar menghilangkannya, ya?" Kata Al.
"I-iya, k-kalungku hilang," Zalwa tertunduk takut melihat wajah ishan yang berubah menatapanya kesal.
"YAAKK!" Ishan mendekatinya.
"BERDIRI!" Bentaknya.
Zalwa hanya diam dan tertunduk.
"BERDIRI AKU BILANG!" Ucap Ishan dengan suara keras.
Zawal berdiri perlahan, matanya masih tak berani menatap pangeran berambut putih itu.
"LIHAT AKU!" sekali lagi Ishan membentak.
"Jangan terlalu kasar padanya, Ishan..." Ravendra berkata lembut.
"DIAM KAU! KAU JUGA JANGAN TERLALU MEMANJAKAN ADIK-ADIKMU, YA!" Ishan menunjuk Ravendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kelima
FantasyKisah Ellio yang sering di hantui banyak pertanyaan tentang dirinya sendiri. Mengapa dia bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa dia mampu melihat masalalu dan masa depan orang lain hanya dengan menatap wajahnya? Dan bagaimana bisa dia mengendali...