Anehnya wangi masakan pagi hari ini tak menjadi alasanku untuk menyantap sarapan lebih banyak. Begitupun dengan Al dan Zalwa dua pangeran hanh duduk di kanan dan kiriku ini sama tak berseleranya.
Dari ujung meja makan sana Ayah dan Ibunda rupanya memperhatikan kami bertiga sejak tadi, makan kami semua pun sempat terhenti karena suara teguran pelan Ayah pada kami bertiga.
"Al, El, Zalwa?"
Kami mendongak dan menoleh padanya.
"Ada apa dengan kalian?"
Kami saling melirik satu sama lain, tanpa menjawab pertanyaan Ayah segera.
"Kenapa kalian kompak memakai kain bandana di leher? Apa kalian berencana untuk pergi keluar kota?"
Kompak kami bertiga memegang kain bandana yang terlilit di leher kami. Aku melirik Al dan Zalwa bergantian.
Ah, kenapa aku tidak menyadarinya sejak awal! Aku yakin pasti alasan mereka berdua mengenakan bandana di leher hanya untuk menutupi bekas luka cekik Ravendra semalam.
"Aku hanya sedang kurang enak badan, Ayah." Jawab Zalwa lantas dia berdiri.
"Aku izin kembali ke kamar," dia membungkukan setengah badannya lalu pergi.
Bunda menghela napas sedangkan Ayah menatap lama-lama punggung anak bungsunya itu yang mulai menjauh dan hilang di balik pintu.
"Lalu kalian berdua?"
"Kami kembar!" Jawabku dan Al bersamaan tanpa selera.
Kami mendongak perlahan dengan perasaan yang sama-sama tak ada selera pagi ini ketika mendengar Ayah dan Bunda tertawa ringan mendengar jawaban anak kembarnya. Kak Ishan dan kak Altan pun tak luput tertawa karena adik kembarnya pagi ini.
Akan tetapi, tidak dengan Ravendra. Kudapatkan di kursinya dia hanya diam sambil terus melahab menu sarapannya dalam tenang, meski begitu tetap saja paras rasa bersalahnya pada kami terutama Zalwa atas kejadian semalam, tak bisa dia sembunyikan dariku.
***
"Separah apa lukamu?" Tanyaku pada Al.
Kami duduk bersebelahan di sebuah bukit menatap pemandangan pemukiman tanah Jingga dari atas sini.
"Tidak jauh berbeda denganmu?" Al membuka bandananya yang melingkar di lehernya, menunjukkan bekas luka memar di sekeliling lehernya, sama sepertiku.
"Sakit?"
"Sudah tidak, tapi semalam-" Al menghela napas.
"Apa sekencang itu Ravendra mencekikmu? Sampai-sampai aku pun kesulitan bernapas,"
"Begitulah," jawabku singkat.
Beberpa saat kami saling diam, menatap langit biru di atas sana.
"Langit biru di sana tidak menjamin masa depan kita bukan? Aku mengerti maksudmu sekarang,"
Aku mengangguk pelan membenarkan.
"Jadi apa yang akan kau lalukan sekarang?"
"Aku ingin pulang," ucapku pelan tapi masih bisa Al dengar.
"Pulang ke mana?"
"Ke rumah. Rumah yang benar-benar rumah."
"Dunia manusia maksudmu?"
Aku mengangguk.
"Yakk! Kau mau kabur? Kau berniat menjadi seorang pengecut?!"
"Bukan begitu, tapi kupikir... untuk apa kita bertahan di sebuah situasi yang tidak menjanjikan kebahagiaan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kelima
FantasíaKisah Ellio yang sering di hantui banyak pertanyaan tentang dirinya sendiri. Mengapa dia bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa dia mampu melihat masalalu dan masa depan orang lain hanya dengan menatap wajahnya? Dan bagaimana bisa dia mengendali...