Al tersenyum di ambang pintu padaku. Dia masuk membawa sebuah piring dan gelas untuk makan malamku. Rupanya bukan hanya Al, Kak Altan, Arun dan Zalwa pun menemuiku malam ini.
"Kau sudah jauh lebih baik?" Tanya Al yang duduk di ujung kasur dan memberikan menu makan malam untuku.
"Mm..." aku mengangguk.
"El, sini biar aku bantu." Zalwa merebut piring dari tanganku.
Untuk kesekian kalinya, anak bungsu dari tujuh bersaudara ini menyuapiku penuh kesabaran.
Kak Altan melirik buku sejarah Tanah Jingga yang tergelatak di atas kasur. Dia menghela napas.
"Astaga... kenapa kau belajar di saat kondisimu belum pulih benar?" Kak Altan mengambil buku itu dan menaruhnya di meja belajar.
"Aku bosan,"
"Maka dari itu, cepatlah pulih agar kau bisa beraktifitas lagi." Balasnya.
Tak ada lagi suara dariku tuk membalas perkataan Kak Altan. Yang kulakukan kini hanya duduk bersila, diam, sambil mengunyah pelan makanan di atas kasur bersama tatapan kosong.
"Apa Bunda datang menemuimu hari ini?" Tanya Al.
"Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin ke sini saat aku sedang tidur."
Keempat saudaraku menghela napas bersamaan.
Arun yang duduk di sebelahku lantas menepuk-nepuk pundakku dan menarikku ke dalam rangkulannya.
Sudah tiga hari ini aku berdiam diri di kamar, semenjak Al dan Kak Altan membawaku keluar dari penjara dan selama itu juga aku tak bertemu kedua orang tuaku.
Jangan tanya ke mana mereka, karena aku pun tak ingin tahu.
"Mungkin mereka sedang sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk evaluasi kita berlima dua hari lagi." Kata Al.
"Tapi kulihat Bunda dan Ayah ada di singgasana," ucap Zalwa polos.
"Zalwa!" Tergur Arun dan Kak Altan. Sedangkan Al memelototinya.
"Sudahlah, aku pun tidak peduli." Kataku dengan rasa kecewa.
"El, besok lusa kau akan ikut evaluasi belajar kan?" Arun mengalihkan pembicaraan.
"Pasti! Akan kutunjukkan pada mereka, kalau aku bukan pangeran yang bisa diremehkan!" Kataku sebelum melahab sendok terakhir makan malamku.
***
"Kau yakin akan ikut berlatih hari ini?" Al bertanya ketika melihatku sedang bersiap.
Aku mengangguk selagi mengancingkan lengan bajuku.
"Ayo, pergi aku tidak mau terkena marah Rafael."
Pagi ini jadwal kami untuk berlatih beberapa jurus berpedang. Kuakui, aku adalah yang paling lambat untuk menghafal setiap gerakan satu ini. Tidak sekali dua kali Rafael menegurku karena lupa gerakan.
"Cukup sampai di sini, kuharap kalian siap untuk evaluasi besok."
Kami diberi waktu untuk berganti pakaian dan makan siang sebelum berkutat dengan banyak buku di perpustakaan.
Banyak sekali teori-teori yang harus kami hafal, terutama mengenai ilmu sejarah Tanah Jingga.
Kami duduk di kuris masing-masing, belajar tanpa mengganggu satu-sama lain. Perpustakaan ini hening terkesan tak ada lima pangeran yang duduk di dalamnya.
"Ini, minumlah." Aku mendongak dan tersenyum ketika Kak Altan menyimpan sebotol minuman di mejaku dan dia kembali duduk belajar setelah menaruh minuman yang sama kepada Al, Arun dan Zalwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kelima
FantasyKisah Ellio yang sering di hantui banyak pertanyaan tentang dirinya sendiri. Mengapa dia bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa dia mampu melihat masalalu dan masa depan orang lain hanya dengan menatap wajahnya? Dan bagaimana bisa dia mengendali...