Ceklek!
Aku membuka pintu kamar rawat Ishan. Sebuah senyuman dari pangeran kedua itu menyambutku malam ini.
"Kau sudah sadar rupanya?" Aku berjalan masuk dengan wajah bahagia.
Ishan mengangguk dan membalas pelukanku.
"Syukurlah, aku lega melihatmu pulih." Aku melepaskan pelukan.
"Ya, aku pun begitu. Kalau saja kalian tidak menolongku mungkin aku sudah lewat," katanya yang masih duduk selonjoran di kasur.
Wajahnya sudah tak sepucat terakhir kali aku melihatnya. Ishan tampak sudah jauh lebih baik, meski kondisinya belum seratus persen pulih.
Ceklek!
Untuk kali kedua pintu utama terbuka dari luar. Tampak pangeran ketiga masuk dengan wajah kalut. Kehadirannya tak luput mengundang perhatianku, Al, Arun dan Zalwa yang menatapnya kasihan.
Ishan tersenyum menyambutnya.
Kak Altan masuk dengan langkah pelan menghampiri sang Kakak.
Sementara tak ada suara yang keluar dari mulut pangeran berambut ungu itu. Kak Altan hanya memperhatikan wajah sang Kakak dengan tatapan bersalah. Sementara Ishan sendiri menatapnya sedih, dia tak kuasa melihat adik pertamanya ini datang dengan baju yang masih ternodai bercak darah.
"Itu pasti darah Elsie!" Pikir Ishan.
"Ishan," ucapnya lirih.
Ishan hanya mengangkat kedua halisnya sebagai tanggapan.
"Maafkan aku," parau. Altan hampir menangis.
Ishan menggeleng pelan. Dia menarik tubuh Altan ke dalam pelukanya.
"Aku sudah dengar semuanya. Al menceritakannya padaku. Kau tak salah. Ini bukan salahmu Altan," Ishan semakin mempererat pelukannya kala tangis Altan semakin keras terdengar.
Kak Altan mengangguk pelan. Dia melepaskan pelukkannya dan menyeka setiap jejak air matanya yang tersisa.
"Kurasa kita tidak bisa menunggu lebih lama, diam-diam kerajaan Moera sudah menyerang kita. Bukankah sudah seharusnya kita pun melancarkan rencana selanjutnya?" Aku menatap satu per satu saudara-saudaraku.
"Kau benar, El. Kita harus bersiap, sebelum mereka melancarkan serangan lebih jauh." Tutur Ishan.
"Baiklah kalau begitu, Zalwa kau tetap di sini jaga Ishan baik-baik. Sementara Kak Altan, Al dan Arun, kalian berjagalah di kawasan istana, dan biar aku yang pergi untuk mengenyahkan debu terakhir itu!"
Mereka mengagguk paham atas perintahku.
Langit mulai menggelap. Sesampainya di istana kami berempat berpencar menuju lokasi jaga masing-masing. Arun, dia memilih berkeliling di dalam istana, Al memantau kondisi di area depan istana sementara Kak Altan di belakang Istana.
Dan aku sibuk melangkahkan kaki mencari sosok pemberontak yang sesungguhnya. Tak kutemukan si biangkerok satu itu di mana pun. Bahkan di ruangannya sekali pun.
Aish! Di mana bedebah sialan itu?! Kenapa dia selalu datang ikut campur kala tak dibutuhkan dan menghilang ketika aku ingin menemuinya!
Aku menghela napas. Jengah!
Baiklah, tidak ada cara lain, aku akan memberi kejutan untuknya.
Aku menutup kedua mata. Berfokus pada setiap jejak energi yang tertinggal di lantai.
Perlahan kakiku melangkah kecil, menelusuri jejak energi hitam yang memperlihatkan tubuh pemiliknya.
Dia berjalan jauh dari posisiku sebelumnya. Melewati beberpa koridor istana dan menuruni tangga. Hingga sampailah aku di sebuah ruangan yang bahkan aku sendiri pun baru tahu jika ruangan yang tersekat oleh pintu berwarna coklat jati itu ada di istana ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kelima
FantasiKisah Ellio yang sering di hantui banyak pertanyaan tentang dirinya sendiri. Mengapa dia bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa dia mampu melihat masalalu dan masa depan orang lain hanya dengan menatap wajahnya? Dan bagaimana bisa dia mengendali...