Peringatan hari kematian Pangeran pertama dan Pangeran kedua berjalan khitmat. Semua anggota keluarga kerajaan menaburkan bunga di ujung tebing ke lautan lepas, dan satu per satu dari mereka mulai pergi meninggalkan lokasi.
Hingga tinggal lah kami berlima yang berdiri berjejer, menatap lurus hamparan laut luas di ujung tebing.
"Indah ya? Pemandangan di sini aku suka!" Suara Zalwa memecahkan keheningan di antara kami.
"Aku juga menyukainya," Arun tersenyum, bahkan dia sampai berdecak kagum.
"Di sini... tempat terakhir kali aku melihat Ravendra dan Ishan."
Kami semua menoleh menatap Kak Altan.
"Ya... jikalau saja aku tidak memaksa mereka untuk datang ke sini sore itu, mungkin-" suara Kak Altan tertahan. Dia tertunduk dalam-dalam dan menghela napas.
"Mungkin kalian tidak akan kehilangan mereka dan langit jingga ini tidak akan pernah ada!"
Al merangkul Kak Altan. "Ini yang dinamakan takdir Altan. Semesta sudah menggariskan tebing ini sebagai akhir dari cerita hidup mereka,"
"Sudah kubilang berhentilah menyalahkan dirimu sendiri! Jika kau selalu begitu, sampai kapan pun kau tidak akan pernah merasa pantas untuk hidup." Kataku.
"Tolong..."
"Siapa pun, tolong aku..."
Aku menghela napas. Lagi-lagi aku mendengar suara Ravendra. Kini suara itu bak berbisik di telingaku.
"Andaikan Ravendra dan Ishan berada di sini, apa yang ingin kau katakan pada mereka, Kak?" Kataku sambil menatap lurus hamparan samudra di depan sana.
"Aku ingin meminta maaf!"
"Kalau begitu, kata kan lah."
Kak Altan terdiam, kulihat matanya kini sudah menjatuhkan tetesan air. Bibirnya bergetar, menahan luapan tangisnya.
"M-maaf..." ucapnya lirih.
"Bilang semua yang ingin kau katakan, samudra akan menyampaikannya pada mereka. Yakinilah itu!" Kataku lagi.
"Hiks! Hiks!" Isak tangisnya mulai terdengar.
Di waktu yang bersamaan kututup mataku dari semua pandangan indah di sekitar. Fokusku kini pada sebuah bayangan yang menampilkan kedua Kakakku di balik jeruji besi sana. Ya, aku mencoba menghubungkan energiku dengan mereka.
"RAVENDRA... ISHAN... HIKS! HIKS!" Kak Altan berteriak.
"Ah? Suara itu? Ishan kau dengar kan?" Kulihat Ravendra mendongak. Syukurlah, usahaku berhasil.
"Iya, Ravendra, aku mendengarnya. Tapi dari mana asal suara itu?" Ishan menelisik keberbagai sudut penjara.
"RAVENDRA... ISHAN... MAAFKAN AKUUU... HIKS...HIKS..." tubuh Kak Altan membungkuk, dengan kedua tangan tertopang pada kedua lututnya.
"Kumohon kembali lah... hiks... hiks... hiks... KUMOHON KEMBALI LAH..." suara lirih itu berubah menjadi teriakan yang membuat siapa pun miris mendengarnya.
"Altan? Kau kah itu?" Ucap Ravendra.
"Altan, kami di siniii... apa kau mendengar kami? Jawab kami Altan?!"
"Hiks! Hiks!" Tubuh Kak Altan merosot ke tanah. Segala rasa sakit, luka batin dan rasa bersalah bak menyerang tegarnya, hingga melumpuhkan raga yang selalu berdiri tegap itu.
"Bersabarlah sebentar lagi!" Batinku pada mereka.
"K-kau? S-siapa?" Ravendra terkejut mendengar suaraku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kelima
FantasyKisah Ellio yang sering di hantui banyak pertanyaan tentang dirinya sendiri. Mengapa dia bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa dia mampu melihat masalalu dan masa depan orang lain hanya dengan menatap wajahnya? Dan bagaimana bisa dia mengendali...