Cinta dan Semesta

1.2K 151 4
                                    

Jingga kembali mengundang suara dari berbagai penjuru negeri Arsakha. Bukan, langit jingga di atas sana bukanlah senja yang selalu di tunggu-tunggu keelokannya, melainkan jingga yang tak pernah diharapkan.

Tak jauh berbeda dengan rakyatnya, keenam pangeran di istana pun sama khawatirnya. Akan sampai kapan kami hidup di bawah kutukan langit jingga itu? Apa selamanya? Mengingat ini adalah kali ketiga Kerajaan Arsakha kehilangan putra mahkotanya. Mungkinkah tak ada pengampunan lagi dari sang pemilik semesta untuk kami, yang seakan menutup mata akan satu derita yang seharusnya terangkul?

"Ravendra," desah Kak Altan sambil menatap langit jingga di luar sana dari balik jendela besar.

Aku yang berdiri tepat di sebelahnya menoleh pada pangeran berambut ungu itu lantas menepuk-nepuk pundaknya.

"Apa yang harus kita lakukan, El? Mungkinkah semesta mengampuni kita?"

Aku menghela napas pelan. "Banyak yang harus kita lakukan, terutama merangkul diri kita sendiri. Tenangkan dirimu, Kak,"

"Bagaimana aku bisa tenang?! Kita bahkan tidak tahu keadaan Ravendra yang sebenarnya, apakah dia masih bertahan atau dia benar-benar sudah-" ucapannya tertahan. Kak Altan tak kuasa melanjutkannya. Air matanya kembali menggenang di kedua pelupuk mata, nafasnya tersengal menahan sesak sedih hati.

Aku maju selangkah dan memeluk tubuh yang sedang berusaha keras untuk mempertahankan tegarnya itu.

Dalam dekapan yang sama eratnya, sekilas bayangan muncul dalam benakku.  Bayangan itu memperlihatkan keadaan Ravendra saat ini. Sukmanya terkunci, bak tersandra dalam raga yang tengan terduduk gagah di kursi singga sana raja Moera. Mahkota berlapis emas itu bertandang di kepalanya. Ravendra resmi menjadi raja kerajaan Moera.

Nyatanya ramalan kuno tahan jingga itu tak meleset sama sekali. Pertumpahan satu darah yang terjabarkan dalam kitab tanah jingga benar-benar akan terjadi!

Semakin erat dekapanku pada tubuh Kak Altan, semakin banyak bayangan-bayangan kejadian mengerikan yang terlintas menghantui kekhawatiranku.

Bagaimana samurai-samurai itu saling berdentingan demi saling menghabisi musuh. Bagaimana setiap tetes darah merembes bak keringat dari setiap tubuh keenam pangeran Arsakha. Mereka takluk ditangan kakaknya sendiri.

Cukup! Aku tak kuasa melihatnya! Sudah cukup!

"El?" Panggil Kak Altan yang merasakan tubuhku bergetar dalam pelukannya.

"Dia tidak pergi, Kak." Ucapku pelan.

"Jingga ini bukan sebuah hukuman, melainkan sebuah teguran. Kita masih bisa memperbaiki ini semua. Tapi aku mohon, sebanyak apa pun luka yang kau terima nanti, kau tidak akan menyerah untuk menghadirkan pelangi." Sambungku.

Kak Altan melepaska pelukkannya.

"Apa maksudmu?"

Aku menatap wajahnya lalu beralih menatap satu per satu saudara-saudaraku  yang sudah memperhatikan kami berdua sedari tadi di sofa.

"Pelangi apa?" Kak Altan kembali bertanya.

"Pelangi. Keutuhan!" Kataku pelan nyaris berbisik.

"Kita semua tidak bisa menghindari pertumpahan satu darah."

"Ah?" Mata dari kelima pangeran melebar.

"Tapi aku percaya kita bisa bertahan, walau dengan setetes darah yang tersisa!"

Aku jalan beberapa langkah lebih dekat ke jendela besar yang menyuguhkan pemandangan taman istana.

"Apa yang kau lihat, El? Kau melihat kami mati di tangan Ravendra, begitu?" Al beranjak dari duduknya dan mendekatiku.

Pangeran KelimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang