5: Sekarang?

88 13 0
                                        

Berjam-jam telah berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berjam-jam telah berlalu. Telapak tangan Lanang menyentuh leher Rindu yang masih terlelap, kemudian beralih ke kening untuk memastikan sesuatu. Suhu tubuhnya hangat. Sambil duduk di pinggir ranjang, dua manik Lanang memperhatikan setiap inci wajah Rindu dalam diam, tanpa ekspresi. Jemarinya menyisir lembut dari atas ke bawah pipi itu, hingga berhenti pada bibir ranum yang menyita atensinya sekitar tiga puluh detik.

Rindu yang mulai merasa terusik perlahan membuka mata. Pandangan sayu mengerjap, membalas tatapan Lanang. Seketika, seulas senyum lembut diagihkan. Kedua kuasanya pun bergerak untuk menggenggam tangan besar yang mengusik tidurnya. "Pagi, Papa."

Lanang tertegun, sepertinya Rindu sedang mengigau. Tubuh pria itu merendah seraya menarik tipis kedua ujung bibir, bermaksud iseng. "Pagi, Bunda."

Suara bariton Lanang menyadarkan Rindu sepenuhnya dari mimpi indah. Kedua matanya terbelalak lebar sambil melepaskan genggaman, lalu beralih mendorong wajah pria itu sekuat tenaga. "Lo mau ngapain?" pekiknya dengan tampang judes.

Sayang sekali ekspresi manis bak bidadari itu sirna dari wajah Rindu, padahal cukup membuat Lanang terkesima. "Jangan salah paham," pria itu pun menjauhkan tubuh lalu berdiri, "tadi ada yang megang tangan saya kencang banget."

Sindiran itu menohok urat malu Rindu. Ia mengira Lanang adalah mendiang ayahnya yang sering membangunkan tidur sewaktu kecil dulu. Gadis itu menyibak selimut lalu buru-buru turun dari ranjang dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, alhasil ia jatuh terduduk di lantai.

"Pelan-pelan, kamu" Lanang membungkuk untuk membantu, tetapi niat baik itu ditampik terang-terangan oleh Rindu.

"Gue bisa sendiri." Rindu mencoba berdiri kembali dengan susah payah. Badannya terasa pegal terutama bagian pinggang seperti seorang lansia. Sudah berhasil setengah berdiri, menumpu kedua tangan pada lutut seraya mengembuskan napas kasar. Namun posisi itu tidak berlangsung lama, karena tubuhnya tiba-tiba terangkat oleh dua lengan kekar yang mengejutkannya. Sontak Rindu mencari pegangan dengan mengalungkan tangan pada leher Lanang.

"Sudah saya kirim sisa uangnya." Lanang berujar dengan tenang seraya berjalan ke arah dapur, lalu mendudukkan Rindu di meja pantry.

Rindu tidak langsung merespon, tergantikan dengan sebuah anggukan kecil. Entah kenapa sebuah ucapan terima kasih terasa sulit sekali keluar dari bibirnya. Bersamaan dengan itu suara perutnya berbunyi kencang.

"Karena ada yang lapar jadi kita makan sekarang," timpal Lanang sambil memandang Rindu yang hanya berjarak kurang dari sejengkal. Badannya menunduk dengan kedua lengan mengungkung tubuh sang gadis.

Rindu mengangguk lagi tanpa mengucapkan sepatah kata. Keheningan kembali menyelimuti keduanya, bersamaan dengan aroma roti bakar bercampur parfum woody chypre milik Lanang yang menyapa. Namun, ia bingung kenapa pemilik mata tajam itu tidak lantas beranjak dari sana, diperhatikan lekat cukup membuatnya risih.

Tendas Lanang mendekat ke telinga Rindu sembari berbisik, "Oke. Tanganmu bisa lepas dulu ngga? Saya mau ambil piring."

Pupil Rindu membesar, baru sadar jika masih mengalung pada leher Lanang. TANGAN GUE. Sontak ia kaget sendiri sembari menjauhkan tubuh.

Sweetest RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang