Dendam yang muncul akibat doktrin dari almarhum sang ayah, membuat Rindu Sediakala harus memilih antara memiliki anak dari Lanang Lakeswara atau mengakhiri hidup pria itu.
Namun saat tekadnya sudah bulat, Rindu justru mendapatkan perlakuan baik sert...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Refleks, Rindu terlihat panik sembari terbatuk-batuk. Ia gelagapan, mengedarkan pandangan untuk mencari tempat bersembunyi. Tanpa berpikir panjang, gadis itu berlari kecil masuk ke dalam area kasir di mana Padma berdiam diri. Bawah meja menjadi pilihan karena merasa badannya kecil sehingga bisa menyelip.
Seperti orang bodoh, Rindu merutuki sikapnya. Kenapa ia harus melakukan hal itu?
Bersamaan dengan masuknya sosok pria tinggi ke dalam, Padma cukup kebingungan dengan tingkah Rindu. Karena gadis itu memohon untuk mengabaikan, jadinya ia memilih menyapa pengunjung yang datang. "Halo, silakan kak," sebuah menu di sodorkan dengan ulas senyum ramah, "seminggu ini ada diskon khusus paket Renjana—"
"Maaf menyela. Saya Lanang Lakeswara, mungkin ibu sudah tau maksud kedatangan saya kemari dari Auriga." Lanang duduk di kursi bekas Rindu, matanya sempat melirik sisa kue di meja.
Seraya memeluk kedua lutut, Rindu dapat melihat perubahan ekspresi pada rupa Padma dari bawah sana. Wajah wanita paruh baya itu menjadi tegang meski berusaha ditutupi dengan senyuman kaku.
"Sebentar ya, Pak Lanang." Padma beranjak ke pintu untuk membalikkan tulisan open menjadi closed, lalu menarik tirai tipis pada jendela hingga menyamarkan situasi di dalam. "Saya bukan orang yang Bapak cari."
"Lanang saja, Bu," cetus pria itu dengan sopan.
Padma kembali ke area dalam kasir sembari mengangguk. "Orang yang kamu cari enggan buat muncul, itu terlalu berisiko." Wanita itu menggaruk hidung mancung hasil operasi plastik dengan jari telunjuk. "Jadi kalau berkenan, semua interaksi bisa melalui saya sebagai pihak penengah yang diutus langsung oleh beliau."
Lanang terlihat menimbang seraya mengetukkan jari telunjuk pada meja. "Can you prove any of your claims? I mean with factual evidence." (Bisakah buktikan klaimnya? Maksud saya, dengan bukti faktual).
"Beliau dan ibu yakin, bukan kamu yang melakukannya," ujar Padma seraya menambahkan susu putih ke dalam racikan cokelat buatannya, "Chandra murni dibunuh, bukan karena serangan jantung. Iya kan?"
Lanang merasa tertarik dengan penuturan barusan. "Hm, keluarga saya sudah menutupinya dengan headline berita soal kematian natural karena serangan jantung, tapi orang-orang tetap percaya dengan kebocoran info pembunuhan itu."
"Kami bukan orang-orang itu, Lanang," tegas Padma sambil menekan tutup gelas plastik. "Memang waktunya juga ngga pas, kamu naik jabatan saat kejadian itu masih hangat jadi perbincangan publik."
"Saya kira satu tahun sudah cukup untuk memulihkan nama baik." Ketukan terhadap meja pun berhenti.
"Memang keputusan bagus untuk berhenti sebagai brand manajer selama setahun, tapi hasil RUPS waktu itu langsung mengangkat kamu sebagai direktur perusahaan Lakespangan menggantikan Chandra, masyarakat jadi mensangkut pautkan lagi dengan informasi yang bocor."