Dendam yang muncul akibat doktrin dari almarhum sang ayah, membuat Rindu Sediakala harus memilih antara memiliki anak dari Lanang Lakeswara atau mengakhiri hidup pria itu.
Namun saat tekadnya sudah bulat, Rindu justru mendapatkan perlakuan baik sert...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Iya! Bawel."
Kalimat itu terngiang dalam kepala Rindu, terus berputar hingga membuatnya sulit berkonsentrasi hari ini. Merutuki diri sendiri sejak pagi tadi sudah seperti doa yang wajib dilakukan setiap melakukan sesuatu. Bisa-bisanya dengan angkuh mengiyakan ucapan Lanang. Rasanya ingin buru-buru pulang untuk memastikan kembali keberadaan jaket milik pria itu karena betulan tidak ketemu di indekos. Lantas bingung, kenapa jadi berkepanjangan begini sih?
"Halooo Rindu Sediakala." Rita—rekan kerja Rindu—menggerakkan tangan tepat di depan wajah kawannya hingga membuat Rindu mengerjap kaget dan tersadar dari lamunan. "Ini nama penjualnya kenapa jadi Lanang Ngeselin? Untung aku cek lagi sebelum diserahin ke Pak Raga. Kalau nggak, kamu bisa dicekek beliau, Rin."
Rindu melotot setelah menerima akta yang baru saja dicetak. Betul, itu hasil karyanya. "Ya Allah maaf Mbak Rita, sebentar, aku print lagi ya."
Rita hanya bisa geleng-geleng kepala.
Kantor Notaris tempat Rindu bekerja berisi tujuh pegawai dan isinya perempuan semua. Masing-masing sudah memiliki tugasnya seperti mengetik, menjahit akta, membayar pajak dan menerima tamu. Rindu bagian menjahit akta dan kadang bantu mengetik jika transaksi sedang banyak. Pak Raga selaku Notarisnya akan ada di kantor hanya bila diperlukan karena klien yang datang sudah dipegang oleh Rita dan dua pegawai lain.
"Perkara hoodie udah bikin kamu nggak konsen seharian lho Rin. Tadi pagi, pakai baju bisa kebalik, terus ikan Pak Raga kamu kasih makan beras, astaga ... memangnya kamu takut banget ya kalau Danu sampai marah besar?"
Lebih parah dari itu Mbak Rita! Aku bakal tidur sama singa!
Rindu belum bercerita soal Danu ke Rita dan semua rekan kerjanya. Kenyataan jika gagal menikah, diperparah calon suaminya itu tukang tipu dan bermuka dua. Menebalkan wajah adalah usaha yang sedang gadis itu lakukan sebelum menjelaskan semuanya.
Dengan terpaksa Rindu mengangguk ragu. Tidak berani lempar pandang ke Rita, ia fokus pada layar komputer untuk merevisi kesalahan ketik.
"Coba inget-inget lagi deh di mana terakhir kamu bawa. Kalau ngga ada di kos, mungkin kereta? atau Panti? Kamu ke mana lagi selain tempat-tempat itu?"
Pikirannya seketika tercerahkan kala mendengar kata Panti. Rindu menoleh dengan raut wajah berseri. "Aku belum ke Panti, semoga ada di sana deh. Makasih Mbak Rita!"
"Rindu, boleh ke sini sebentar?" Raga menyembul dari balik pintu yang menghubungan kantor dengan rumahnya, setelah itu berlalu begitu saja.
"Baik Pak." Rindu menoleh ke Rita sekilas. "Udah aku klik print. Tinggal tunggu aja ya Mbak." Setelah itu ia langsung mengikuti bosnya ke arah pantry yang sepi dari kegiatan bekerja.
Sosok tinggi dengan kacamata dan pakaian formal itu menyodorkan pembukuan keuangan kepada Rindu. Wajahnya tampak serius. "Kenapa kamu ngga jujur? Pendapatan kemarin masih kurang tiga ratus ribu. Di buku kamu tulis lima juta empat ratus, fisiknya cuma ada lima juta seratus."