Dendam yang muncul akibat doktrin dari almarhum sang ayah, membuat Rindu Sediakala harus memilih antara memiliki anak dari Lanang Lakeswara atau mengakhiri hidup pria itu.
Namun saat tekadnya sudah bulat, Rindu justru mendapatkan perlakuan baik sert...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langkah Rindu terhenti di pinggir jalan raya tepat di depan sebuah warung kopi, padahal tinggal beberapa langkah lagi sampai di Panti Asuhan Amanah. Mengindahkan hari yang sudah berganti warna menjadi gelap, benaknya sibuk memikirkan kejadian sebelumnya. Bagaimana bisa Rindu sampai tidak menyadari rupa pria itu? Lanang Lakeswara, generasi ketiga sekaligus salah satu penerus dari Lakeswara Group. Perusahaan yang telah membangun citra selama 45 tahun dan memiliki banyak anak perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan properti.
Lanang sendiri adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Memang tidak semua orang dapat langsung mengenalinya, sebab ia cukup menutup diri soal kehidupan pribadi. Berbeda dengan sang kakakYasa Lakeswara—yang sering muncul di artikel berita dan aktif di media sosial. Padahal selama ini informasi cukup sering ia gali soal keluarga Lakeswara. Namun, siapa sangka wajah Lanang terlihat berbeda dari foto yang tersebar di internet? Maksudnya, jika bertemu langsung tidak terlihat seperti pria berumur 35 tahun.
Semakin dipikirkan, denyutan pilu pada hatinya tambah terasa nyata. Terlalu sibuk dengan urusan bertahan hidup, Rindu jadi melunak soal niatan membalaskan dendam bahkan rasa amarah seolah terlupakan, tetapi pertemuannya dengan Lanang seakan membangkitkan kembali memori lama menyakitkan yang berkaitan dengan keluarga Lakeswara.
Tepukan pelan dan sebuah genggaman pada tangannya membuyarkan lamunan Rindu. "E-eh, bu Erna." Ia pun salim sembari ulas senyum hangat.
Erna—pengurus panti—menyipitkan matanya tampak tidak suka. "Kamu tuh, kebiasaan ngalamun gitu, mikirin apa hayo? Ayo ke rumah." Wanita paruh baya berperawakan kecil itu dengan sabar menuntun Rindu sampai ke dalam Panti Asuhan Amanah.
Bangunan sederhana perpaduan warna cokelat muda dan cokelat tua beserta tanaman-tanaman hijau di pekarangan memberikan kesan hangat. Setiap sabtu dan minggu atau sepulang kerja, Rindu memang kerap datang ke Panti untuk sekadar membantu. Sebagai rumah yang membesarkannya, ia merasa sulit lepas dari tempat itu meskipun dulu pernah diperlakukan kurang baik oleh salah satu pengurus panti.
Di ruang tamu, Rindu duduk bersebelahan dengan Erna. Sofa kecil yang menjadi dudukan tidak menghilangkan kenyamanan berbincang mereka. Kepulan asap halus dari cangkir teh pun ikut menghidupkan suasana yang hening.
"Anak-anak udah pada tidur ya? Tadi ibu dari mana?" tanya Rindu untuk memastikan sambil melepas jaket yang melilit pinggang.
"Iya sudah pada tidur. Tadi ibu—"
"Oh iya bu, tadi ada salam dari Mas Danu." Rindu mengulum senyum manisnya, terpaksa menyela karena pas ingat.
Raut wajah Erna sedikit berubah, ia seakan hendak mengatakan sesuatu ketika mendengar nama Danu. "Oh ... iya. Salam juga untuk Danu ya."
"Ibu kenapa?"
Buru-buru Erna menggeleng pelan diikuti senyuman tipis. "Ngga Rin, itu tadi ibu habis dari rumahnya Bu Nilam, membicarakan soal nasib bayi yang ditemukan dekat penjual sayur. Bersyukur bayinya masih sehat."