Dendam yang muncul akibat doktrin dari almarhum sang ayah, membuat Rindu Sediakala harus memilih antara memiliki anak dari Lanang Lakeswara atau mengakhiri hidup pria itu.
Namun saat tekadnya sudah bulat, Rindu justru mendapatkan perlakuan baik sert...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mereka pun tiba di apartemen Lanang dengan selamat meski sebelumnya sempat terjadi perdebatan. Hal kecil seperti siapa yang menyupir memakan waktu hampir lima belas menit lebih hingga pada akhirnya Lanang memenangkan argumen.
"Mas. Ngapain jongkok di situ? Ada sofa nganggur buat di dudukin." Rindu menutup pintu apartemen dan menguncinya kemudian membungkuk untuk mengecek keadaan Lanang.
"Pusing. Tolong ambilkan minum."
"Tuh kan dibilangin ngeyel, mending tadi aku aja yang nyupir." Dengan sigap Rindu berlari kecil ke pantry. "Gelasnya kok nggak ada? Pada pindah ke mana?"
"Laci sebelah kananmu." Perlahan Lanang pun berdiri seraya mengernyit mempehatikan Rindu yang masih bingung mencari keberadaan gelas. "Itu laci kiri. Saya bilang kan laci kanan."
"Oh, kanan yang ini."
Lanang menyilangkan kedua tangannya ke depan dengan ekspresi penuh tanya hingga Rindu datang menyodorkan segelas air mineral. "Kamu ngga tahu kiri dan kanan?"
Rindu menggeleng ringan. Tangannya semakin terulur agar Lanang segera menerima gelas itu. "Cepet diminum, tanganku pegel nih."
Kekehan terdengar samar seraya menerima gelas. Lanang tidak percaya Rindu yang tak tahu kiri dan kanan dengan percaya diri mengajukan ide untuk jadi supir. "Nyawa saya selamat." Ia pun melenggang menuju ruang tengah.
"Sama-sama," sindir Rindu seraya mengekor. "Tapi aku betulan bisa nyupir ya! Cuma kiri kanan kan bisa pakai feeling. Lagian nggak penting amat kok."
"Ya penting. Kamu bisa aja nyasar kalau tiba-tiba ada rekayasa lalu lintas. Misal, kamu diarahin—"
Rindu mengecup pipi Lanang sambil menarik kuasa sang pria yang sedang menggenggam gelas. "Katanya pusing, tapi masih aja bawel. Jadi keinget mendiang ayahku," bisiknya dengan pelan kemudian mengulum senyum manis. "Minum dulu habis itu kita tidur, ya?"
Rasanya Lanang enggan merespon penolakan jika kalimat itu terucap dari bibir mungil Rindu ditambah suara rendahnya membangkitkan sesuatu pada diri Lanang. Pandangnya fokus pada titik itu sembari meneguk air lalu diletakkan ke meja.
"Kantung matamu keliatan lagi." Rindu menyentuh bagian bawah mata Lanang dengan jemari lentiknya sambil mengikis jarak. Kuasanya lalu menyentuh kerah baju pria itu.
Begitu pun Lanang yang mendekatkan tendas ke telinga Rindu. "Kalau kamu begini yang ada malam ini saya ngga bisa tidur." Detik setelahnya badan Rindu mengudara, berakhir di pundak Lanang. Sang gadis pun memekik kaget sampai ke kamar kemudian Lanang merebahkan tubuh ringan itu di ranjang.
"Bisa nggak sih kasih prolog dulu? Mentang-mentang aku enteng ha?" Bibir Rindu merengut, jantungnya hampir saja copot sebab tiba-tiba diangkat bak karung beras.
Lanang yang menindih tubuh Rindu hanya terkekeh sebagai respon. "Siapa bilang kamu enteng?" Ia merendahkan tendas kemudian mendaratkan kecupan pada ujung mata Rindu. "Setiap dekat kamu rasanya ngantuk terus."