"Kamu ingin mengancam saya seperti Lanang?" Raut wajah Gala mengeras, sedari tadi enggan melonggarkan emosi. Sekuat tenaga menahan agar tidak langsung meledak.
Gelengan cepat dilaku oleh Rindu. Tatap penuh keyakinan coba ia agihkan. "Rindu ... bisa melihat masa depan. Dapat bertemu dan kenal dengan Mas Lanang pun berkat kemampuan ini, Pa."
Pria paruh baya itu bungkam sebab jadi teringat Lanang. Ia tahu penyakit apa yang sedang anak laki-lakinya itu idap. Sesuatu tentang sulitnya melupakan masa lalu, yang katanya dapat mengingat kejadian detail di waktu lampau hingga detik ini mengedipkan mata. Omong kosong! Tentu Gala tahu dan paham tentang semua itu hingga menganggap Lanang hanya berhalusinasi, membual, memberontak. Hanya alasan membela diri.
"Kenapa Papa menyembunyikan penyakit itu dari Lanang, atau bahkan mama dan keluarga?" Rindu sedang mencoba peruntungan. Saat ke Pondok Cina kemarin ia sempat menanyakan Lanang soal penyakit yang Gala derita tanpa menyinggung langsung kemudian dari jawabannya dapat disumpulkan bahwa ia tidak paham alias tidak tahu.
"Rindu nggak ada niatan untuk mengancam atau ada hal buruk apa pun itu, sama sekali! Rindu hanya sedih, dulu nggak bisa menahan kepergian mendiang ayah dan sekarang dapat penglihatan kalau Papa ...," sekitar matanya sekekita terasa panas, "mengidap penyakit jantung. Rindu tahu nggak bisa bantu apa-apa, tetapi perlu Papa ingat, Mas Lanang sangat menyayangi Papa. Rindu harap dia bisa tahu kondisi Papa dari mulut Papa sendiri. Permisi."
Rindu berdiri kemudian melenggang pergi begitu saja tanpa menuggu persetujuan Gala atau pun munculnya Ira. Hatinya terasa berat, tetapi juga lega. Kalimat yang terlontar semua adalah kebenaran. Kerap saat tengah malam Rindu terjagaketika menginap di apartemen Lanang—pria itu mengigaukan sang ayah. Ucapan maaf hingga kalimat sayang terdengar jelas. Rindu yang menjadi saksi betapa tulusnya hati Lanang menyayangi Gala, meski selalu diperlakukan seperti itu.
Kalut dalam kemelut, Rindu hingga tidak sengaja menabrak seseorang setelah berjalan keluar pintu utama. Ia mendongak seraya menyeka air mata yang membubung. "Ma-maaf Tante."
"Rindu? Calon istrinya Lanang?" Suara wanita paruh baya itu terdengar tegas, mata sipitnya memandang tajam tak ada keramahan pun menyelidik penuh penilaian terhadap Rindu. Ia mengenakan dress hitam selutut serta jaket crop jeans, rambut hitam sebahu dan riasan tebal.
Perasaan Rindu tidak enak, entah siapa wanita di hadapannya itu tetapi auranya sangat menyebalkan. "Betul, Tante." Rindu hendak salim, tetapi kuasa wanita itu dengan gemulai menampik kasar tangan mungilnya.
"Bu, sudah waktunya, nanti kemalaman ditunggu bapak," ujar pria botak berbadan besar nan gagah di belakang.
Wanita itu mengangguk angkuh seraya menaikkan alis, dari cara pandang sungguh merendahkan Rindu kemudian ia melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah tanpa rasa berdosa.
Triple kill, ketemu nenek sihir. Kesialan kesekian bagi Rindu. Hari ini benar-benar makan hati dan menguji kesabaran. Ketika hendak melangkah, suara Ira memanggilnya dari belakang sehingga Rindu harus berbalik badan.
"Rindu! Kamu mau langsung pulang?" Ira berlari kecil.
"Iya, Ma. Tadi ... nanti Rindu ceritain ke Mama soal bahasan—"
Ira menggeleng pelan disertain senyuman hangat. "Nggak perlu, sayang. Itu urusanmu sama Papa, Mama tidak perlu tahu. Terima kasih ya, sudah mau datang ke rumah. Kamu hebat banget loh Rin berani ngadepin papa." Kuasanya mengelus rambut Rindu penuh kelembutan. "Nah, sekarang biar sopir Mama yang anterin kamu pulang ya? Nggak boleh nolak lagi."
***
Sepanjang perjalanan Rindu hanya dapat menghela napas. Tenaganya seperti terkuras habis menghadapi hari ini. Untung saja kedua kakinya masih sanggup untuk naik lift dan berjalan sampai di depan unit apartemen Lanang. Ia menekan bel dua kali, sesaat pintu terbuka lalu menampilkan Lanang yang mengenakan kaus putih longgar dan celana training panjang sembari menyilangkan kedua tangan, tidak sedikit pun memberi jalan untuk Rindu.
"Aku nggak boleh masuk?" Melihat wajah Lanang yang kusut dan tertekuk alis mode galak, lantas Rindu menyimpulkan jika pria itu sedang kesal.
"Dari mana?" Lanang tidak bermaksud untuk marah, tetapi auranya tak bisa berbohong. Meski sempat beberapa saat terkesima dengan penampilan Rindu yang menurutnya luar biasa cantik.
Rindu lagi-lagi mengembuskan napas. "Aku kan udah bilang hari ini pulang kerja langsung ada acara dinner sama bos dan yang lainnya."
"Bosmu ganti jadi Arsa?"
Rindu mengernyit bingung. Ekspresi wajah sedikit menegang. "Kamu ngikutin aku?"
Lanang terkekeh hambar. "Dia ngirim fotomu ke aku."
Arsa kambing! Sialan gue di adu domba.
"Rindu." Lanang membuka pintunya lebih lebar, menarik pelan lengan Rindu untuk masuk kemudian menutup pintu. "Kamu pasti punya alasan kenapa berbohong."
Sedari tadi Rindu hanya sanggup mengatupkan bibir. Sedang menyusun kalimat yang pas. Benar-benar seharian ini ia memaksa otaknya untuk terus berpikir cepat. "Oke, aku memang bohong soal makan malam sama pak Raga. Mas Arsa ... kebetulan ketemu di salon. Terpaksa aku nerima tawaran dia buat nganterin karena HP-ku mati, habis baterai, jadi nggak bisa pesen ojek daring."
"Nganter ke mana?" Genggaman Langan terhadap lengan Rindu mengerat. Ia masih mencoba tenang seraya memperhatikan rupa elok gadis itu yang tampak tertekan. Bulu mata lentik, bibir yang dipoles warna natural tampak menggoda, lalu ekspresi menggemaskan yang terlihat berpikir sangat keras. Lagi-lagi emosi pria itu meredam, hatinya melunak.
Rindu menengadah, sungguh ia merasa lelah dan ingin segera tidur. "Tapi kamu janji dulu—" Belum sempat melanjutkan, ibu jari Lanang menyeka bawah hidung Rindu hingga membuatnya mengerjap bingung.
"Mimisan." Lanang merangkul Rindu lalu menuntunnya sampai ke dekat wastafel lalu mencuci tangan. Tubuh ringan itu ia angkat untuk didudukkan di atas counter table. Kain bersih polos sedikit ia basahkan dengan air keran kemudian perlahan menutul bekas darah yang masih mengucur dari hidung Rindu. Pandangnya pun bersinggungan dengan gadis itu yang dari tadi memperhatikannya dalam diam. "Kamu kelelahan. Setelah ini mandi, terus tidur."
Rindu menahan lengan Lanang ketika hendak beranjak. "Maaf," cicit Rindu sembari memegang kain yang menutupi hidung dan mulutnya. "Aku habis dari rumah orang tuamu, makan malam bareng mama ... dan papa."
Kedua mata Lanang sedikit melebar kemudian mengembuskan napas pelan. "Mama ya? Pasti dia suruh kamu buat tutup mulut." Entah kenapa hatinya terasa lebih ringan kala Rindu berkata jujur.
Terpaksa Rindu mengangguk kecil. "Nanti kamu pura-pura nggak tau ya di depan Mama?"
Hitungan detik Lanang menatap Rindu, lalu tarikan pada sudut bibirnya kian meninggi. Kini balok es pada parasnya telah mencair, tergantikan dengan binar mentari dari manik legamnya. Sesaat, membuat pupil Rindu membulat, jantungnya semoga masih berfungsi dengan baik. Tak dapat berdusta, gadis itu menyukai senyuman Lanang barusan.
"You've done your best so far. Thank you." Kuasa Lanang mengelus pipi Rindu kemudian menghadiahi sebuah kecupan pada kening. "Papa ngga nyakitin kamu kan? Mau cerita?" Lagi, ciuman singkat itu mendarat di pipi Rindu.
Dua kata terakhir Lanang mengingatkannya dengan Danu. Pria sialan itu juga sering menawarkan diri untuk jadi pendengar. Namun, meski kata yang terlontar sama, ada sesuatu perbedaan dari cara mereka berbicara. Kini ada pembanding yang jelas. Tawaran Lanang terdengar sangat tulus, entah kenapa Rindu bisa merasa yakin. Jauh di lubuk hati terdalam, gadis itu sangat merindukan ada seseorang yang bersedia menampung keluh-kesahnya lagi.
"Rin? Ngga apa-apa kalau kamu—"
Rindu menggeleng pelan diikuti senyuman mengembang. "Ada cekcok sedikit tapi ngga sampai main tangan kok. Habis mandi nanti aku mau cerita."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Revenge
Roman d'amourDendam yang muncul akibat doktrin dari almarhum sang ayah, membuat Rindu Sediakala harus memilih antara memiliki anak dari Lanang Lakeswara atau mengakhiri hidup pria itu. Namun saat tekadnya sudah bulat, Rindu justru mendapatkan perlakuan baik sert...