Dendam yang muncul akibat doktrin dari almarhum sang ayah, membuat Rindu Sediakala harus memilih antara memiliki anak dari Lanang Lakeswara atau mengakhiri hidup pria itu.
Namun saat tekadnya sudah bulat, Rindu justru mendapatkan perlakuan baik sert...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bohong. Rindu yakini ucapan seperti itu hanyalah dusta besar yang dapat dengan mudah laki-laki mana pun lontarkan. Bila perkataan itu benar berasal dari hati, berarti misinya untuk membuat Lanang jatuh cinta telah tercapai. Namun anehnya alih-alih bangga, Rindu justru merasa senang. Padahal baru opini, hatinya terlalu cepat merespon dibarengi desiran aneh. Gue pasti udah sinting.
Kedua matanya terpejam, menunggu bibir Lanang untuk singgah. Namun perkiraannya barusan meleset jauh, ternyata pipi tembamnya yang mendapatkan kecupan singkat. Tangan pria itu pun beralih menggerakkan kedua paha Rindu untuk kembali menutup.
"Setelah ini siap-siap ya, sebelum kesorean." Lanang menyandarkan tubuh seraya memejamkan mata dan mengatur napas. Jemarinya saling bertaut di atas perut. Raut wajah semampunya dibuat tenang.
Biasanya Lanang akan melakukan apa pun untuk menangkan diri. Minum alkohol hingga tidur dengan wanita random yang ia sewabenar-benar dalam konteks bercinta—sampai badan pegal dan akhirnya dapat terlelap. Namun entah kenapa, ia tidak bisa melakukan hal itu terhadap Rindu yang merupakan sasaran empuk. Bila ada niatan merusak, rasanya hati dan otak langsung sigap menentang sebab teringat peringatan keras dari Frisanti jika Rindu masih menjaga mahkotanya. Alhasil harus menahan diri.
Rindu kembali membuka mata. Tubuhnya yang masih tegak perlahan mengubah posisi jadi horizontal dengan fokus memperhatikan Lanang. Ia sedikit kebingungan dengan sikap Lanang barusan. Ada rasa lega juga kecewa, sangat rumit untuk dijabarkan.
Tautan jemari Lanang dipisahkan oleh Rindu kemudian disatukan lagi di atas pinggulnya ketika tubuh sudah berhasil bersandar miring dengan nyaman. "Tremormu belum berhenti."
"Ngga begitu mengganggu, tenang saja."
"Aku yang terganggu," sanggah Hening yang masih sayang nyawa. "Istirahat dulu 30 puluh menit, atau nanti aku aja yang nyetir? Pilih mana?"
"Oke, istirahat 30 menit." Lanang menimpali dengan cepat.
Rindu mengambil kesempatan mengecup pipi Lanang sekilas lalu memejamkan mata. Ia akui dada pria itu sangat nyaman dijadikan bantal meski terasa keras karena otot yang terbentuk. Mereka berdua pun tanpa sadar menyunggingkan senyum kecil kemudian tidak lama terlelap.
***
Sekitar pukul dua siang Rindu dan Lanang baru saja keluar dari gedung kantor Polres kemudian langsung masuk ke mobil bagian penumpang.
"Kamu yakin, Rin? Tinggal membuat laporan kepolisan lho, nanti sisanya biar diurus pak Umar." Umar adalah kenalan Lanang di Polres yang menjabat sebagai Wakapolres setempat, dulu kawan main masa kecilnya sampai SMP. "Sebentar ya Pak Dharma," timpalnya kepada supir agar tidak langsung tancap gas dari sana.
Akhirnya Lanang memilih minta bantuan Dharma—supir pribadinya—untuk mengantarkan sekalian membantu mengusung barang-barang milik Rindu di indekos. Setelah dari sana dan semua beres, baru mereka datang ke kantor Polres.