Makan bersama berlangsung di sebuah resto hotel Li Feng. Bangunan interior bergaya mewah terinspirasi dari sejarah perdagangan antara China dan Jakarta masa tempo dulu. Mereka menyajikan hidangan khas china yang berkelas, ada beragam menu dengan range harga masih cukup terjangkau. Selain itu, Ira memilih tempat ini karena menyukai masakan yang di kepalai oleh executive chinese chef yang merupakan kawan dekatnya. Padahal masih pagi, tapi sudah banyak diisi oleh pengunjung. Hal itu pun tidak lantas mengurangi kenyamanannya.
Di meja melingkar berisikan lima orang pada tengah ruangan hanya diramaikan oleh Ira dan Frisanti yang saling berbincang menimpali. Sisanya tampak sibuk menyantap makanan yang dihidangkan sekaligus menyimak. Yasa berhalangan hadir sebab harus menyelesaikan pekerjaannya yang sempat ketunda karena kepergiannya keluar negeri kemarin. Dira pun izin tidak bisa datang karena kakinya terkilir saat berolah raga, sebagai gantinya Arsa—sang suami—yang mewakilkan seorang diri.
"Jadi gitu loh, nak Arsa. Sekitar lima bulan lagi akhirnya Tante bakal punya mantu juga, tolong sampaikan ya ke orang tuamu terutama Nisa." Ira tersenyum sopan dan ramah. Hari ini ia tetap memakai baju batik kesukaannya berwarna pastel.
"Pasti nanti Arsa sampaikan ke mama." Arsa pun mengulum senyum simpul seraya mengangguk pelan kemudian membetulkan letak kacamata. Sekadar berbasa-basi. Kalau bukan karena sang ayah yang memaksanya datang, ia juga enggan menghadiri acara makan bersama yang terkesan memojokkannya seperti ini.
"Terima kasih," sahut Ira dengan manis. Raut wajah bahagia tak luput terbingkai di sana.
"Kebetulan saya dan Rindu sudah kenal sejak lama, Tante. Sekitar dua tahun yang lalu." Pria itu menoleh ke arah Lanang dengan senyum yang ditarik semakin tinggi. "Dulu nyawa saya diselamatkan oleh Rindu dan nggak nyangka kami bisa bertemu lagi sekarang. Oh iya, beberapa waktu yang lalu kami juga sempat ketemu di kafe dan berbincang sebentar. Iya kan, Rin?" Setelahnya pandang itu terlempar ke Rindu.
Lanang menaikkan sebelah alis seraya melirik Rindu yang duduk tepat di sebelahnya. Frisanti pun mulai mencium aroma orang terbakar cemburu, kuasanya lantas memilih untuk menyumpit cucumber pickles, berusaha tidak peduli. Ira diam-diam memperhatikan. Senyum sumringah perlahan surut. Bola matanya bergerak menelusuri wajah anak laki-lakinya, Rindu kemudian Arsa secara bergantian. Tampaknya situasi menjurus sedikit gawat.
Dumpling yang menggantung di mulut Rindu seakan sulit sekali untuk digigit. Mendapati beberapa pasang mata memperhatikannya begitu, membuatnya menaruh sisa makanan ke piring. "Um, iya. Tapi cuma sebatas kenal secara nggak sengaja kok dan nggak sedekat itu juga." Ia mengulum senyum simpul, membalas tatapan Arsa dengan santun.
"Saya senang kita bisa jadi keluarga, Rin." Arsa menambahkan. Entah terdengar jujur atau ada maksud lain di baliknya.
Sepertinya hobi Rindu menyelamatkan orang memang benar adanya. Dari sekian ratus juta jiwa manusia kenapa harus Arsa juga yang mendapat pertolongan? Poin itu rasanya sedikit disayangkan oleh Lanang. "Saya permisi ke toilet dulu ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Revenge
Любовные романыDendam yang muncul akibat doktrin dari almarhum sang ayah, membuat Rindu Sediakala harus memilih antara memiliki anak dari Lanang Lakeswara atau mengakhiri hidup pria itu. Namun saat tekadnya sudah bulat, Rindu justru mendapatkan perlakuan baik sert...