Di dalam private liftmasih penuh dengan rasa curiga—Rindu memperhatikan access card pada genggaman. Usai penjelasan panjang lebar Lanang soal Dira di restoran tadi, tiba-tiba Rindu dipercayakan untuk membawa kunci akses dengan dalih sebentar lagi mereka resmi menikah. Katanya, Rindu akan menjadi istrinya adalah hal wajar untuk sekadar memegang benda pipih itu. Sudah seharusnya pula mulai terbuka dan membiasakan diri.
Namun jika jalannya semakin dipermudah begini, rasanya menguntungkan sekali bagi Rindu. Barangkali ada sesuatu yang bisa ia temukan di dalam apartemen Lanang. Soal apa pun itu. Lamunan Rindu teralihkan kala tangan Lanang menyelip pada pinggang, tubuh pria itu jadi sangat menempel denganya. Dengan perlakuan lembut, Lanang menyamai langkah ketika keluar dari lift.
"Kamu kenapa deh? Jujur, perasaanku sekarang nggak enak." Terang-terangan Rindu berkomentar disertai kernyitan pada kening.
Keduanya berhenti setelah berjalan beberapa langkah. "Lagi belajar jadi suami yang baik dan benar. Perlu aku jabarin lagi ngga? Nethink terus dari tadi." Anehnya kalau sedang bersama Rindu terkadang kesabaran Lanang bisa berubah menjadi setipis tisu.
"Bukan gitu. Rasanya aku pengen pulang ke indekos ...," seketika dalam hitungan detik semuanya menjadi gelap, "aja."
Rindu mengerjap, tiba-tiba saja mati lampu. Apartemen semewah itu blackout tanpa adanya pemberitahuan, dapat ia simpulkan demikian sebab seharian Lanang tidak menyinggung sama sekali soal itu. Semua diperkuat saat dirasa kehangatan tangan pria itu menghilang dari pinggang dan sebelah sisinya.
"Mas Lanang?" Di sana sunyi. Rindu agak panik bukan karena situasi yang gelap gulita, melainkan kondisi Lanang tanpa pencahayaan adalah kombinasi yang buruk. Buru-buru Rindu mengeluarkan gawainya. Suara napas tersengal dan ponsel terjatuh sungguh menimbulkan rasa khawatir.
Namun pergerakannya sempat terhenti, untuk apa Rindu merasa harus menolong?
***
Sekitar tempat Lanang berdiri keseluruhannya hitam. Hanya terasa kekosongan sebab bayang benda-benda di sana menyatu dengan kegelapan. Setelah mendapat pesan dari Chandra sore tadi, alamat lokasi yang kakaknya kirimkan berakhir di gedung perkantoran kosong; sudah tidak terpakai. Ia merasa sedikit aneh kakaknya memilih tempat seperti ini untuk bertemu dengan wartawan freelance. Mereka akan membicarakan soal artikel berita yang akan dikirimkan ke media. Lanang sendiri belum tahu detailnya, yang pasti mengenai keluarga Lakeswara.
"Jangan mendekat, baj*ngan!"
Remang-remang jauh di depan sana melalui cahaya yang masuk lewat jendela terbuka berhasil menyinari sosok pria tinggi menjulang. Tanpa sambutan hangat dan senyuman bodoh seperti biasa, ekspresi Chandra tampak tegang disertai peringatan kasar. Ia terpojok di depan meja kayu. Kedua matanya melotot ketakutan, pula sumpah serapah terucap tanpa henti.
"Ndra? Lo kenapa?" Lanang maju selangkah. Kuasa kanannya hendak menggapai sosok dihadapan, tetapi ia baru menyadari jika sedang menggenggam sebuah pistol. Sejak kapan? Hal itu pun memicu Chandra untuk mengeluarkan revolver gun dari dalam jas lalu diarahkan lurus pada Lanang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Revenge
RomansaDendam yang muncul akibat doktrin dari almarhum sang ayah, membuat Rindu Sediakala harus memilih antara memiliki anak dari Lanang Lakeswara atau mengakhiri hidup pria itu. Namun saat tekadnya sudah bulat, Rindu justru mendapatkan perlakuan baik sert...