a.n baca pelan-pelan aja ya seng. 1809 kata soalnya hehe, happy reading !!
— #
Tepat pada hari ini, hari Rabu, ditetapkan sudah liburan semester 1. Baik Jendra dan Javas juga sudah menerima hasil raport mereka kemarin. Dan tanda liburan ini juga yang menjadi hari terakhir keduanya selesai syuting untuk dokumenter mereka berdua.
Javas memberikan senyum terbaiknya kepada sutradara yang sudah susah payah mengatur mereka—Javas dan Jendra—untuk syuting dengan baik. Jujur saja ia tidak penasaran dengan hasilnya, melihat renggangnya hubungan keduanya.
Permasalahan kala itu masih belum selesai. Jendra memutuskan untuk menghindar, begitu juga dengan Javas. Seolah mereka membuat tembok tinggi tak terlihat jika tidak sengaja berpapasan. Javas seolah menyibukkan dirinya dengan kegiatan osis, padahal tugasnya sudah selesai. Ia sudah lengser.
“Javas, Jendra. Saya ucapkan terima kasih banyak ya atas kerjasamanya? Dokumenter ini akan kami edit sedemikian rupa dan kalian akan menontonnya terlebih dahulu sebelum di rilis,” jelas Pak Rezi, sutradara yang kini sedang tersenyum memandang kedua adam di depannya yang sedang berdiri kikuk.
“Baik, Pak. Terima kasih juga atas kesempatannya, dan saya pribadi ingin meminta maaf jika ada perlakuan yang tidak mengenakkan,” balas Javas sopan.
Pak Rezi terkekeh mendengarnya, “Tidak sama sekali. Saya suka dengan interaksi kalian, itu terlihat sangat alami, bukan begitu, Jendra?”
Jendra yang sedang asyik begong itu terkesiap, berdiri tegak menatap Pak Rezi yang sedang menatap, “Ah, iya! Saya yakin hasilnya akan bagus,” ungkapnya.
Pak Rezi mengangguk sekali lagi, kemudian menepuk kedua bahu Jendra dan Javas, “Saya pamit dulu ya,” pamitnya. Netranya kini beralih pada Javas, “Titip salam kepada Papamu ya?” lanjutnya yang di angguki Javas.
Selang Pak Rezi pergi, begitupun dengan Jendra yang bersiap untuk pergi dari lorong sekolah itu. Namun, gerakannya tertahan saat Javas menahan pergelangan tangannya.
Jendra menatapnya penuh tanya, tatapan tajamnya tidak hilang dari sana membuat Javas sedikit ‘takut’ dengan itu. “Ngapain?” tanyanya.
Javas menelan ludahnya kasar, ia mengerjapkan matanya menatap netra legam Jendra yang masih menunggunya. “M-makasih,” ungkapnya.
Alis Jendra terangkat satu, “Soal?”
“Ucapan lo waktu itu. Di lapangan. Selesai latihan basket”
Memori itu kembali menghantam Jendra, ia menjadi bersalah karena sudah terlalu kasar pada pemuda di depannya ini. Tetapi, bukan tanpa alasan Jendra bisa melontarkan kalimat tersebut, ia mempunyai alasan.
“Ah.. itu”
Javas mengangguk, “Lo bener kok, gak usah ngerasa bersalah,” tuturnya, sembari melepaskan cekalan tangan Jendra.
Tapi sepertinya, mata Jendra berkata lain. Logikanya mungkin akan setuju dan pamit pulang sekarang, tetapi matanya menangkap hal lain. Binar mata Javas yang biasanya terisi itu hilang, Jendra bisa melihatnya. Bahkan ia bisa melihat raut sembab pemuda di depannya itu. Astaga, apakah perkataannya sungguh menyakiti hatinya?
“Lo nangis?”
Celetukan Jendra keluar begitu saja, membuat Javas terdiam, menatap netra itu dalam. Diam-diam ia merutuki kebodohannya sendiri karena sering menangis setelah itu, tak ayal ini pertama kalinya ia mendapat kalimat menyakitkan dari seorang Jendra.
Javas menggeleng, berbohong. Tapi Jendra tetaplah Jendra, ia malah mengikis jarak keduanya. Jendra maju, dan Javas pun mundur. Mereka terus begitu sampai punggung belakang Javas bertemu dengan dinding sekolah, dan Jendra tanpa sadar mengukungnya disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
two of us ★ jikyu
Fiksi Penggemarberisi kisah kasih antara jihoon dan junkyu bxb jikyuist area. if this story not your cup of tea, feel free to leave <3