"Ada masalah?" Bian mendapati sebuah kendaraan mini bus yang menurutnya sangat familier. Tanpa banyak pertimbangan ia langsung menepikan motor maticnya tepat di belakang kendaraan yang berhenti di sepanjang bulakan panjang daerah Sawojajar.
"Eh, iya nih. Ban kempes. Kayaknya sih terkena paku." Ujar perempuan berjilbab yang tidak lain dan tidak bukan adalah putri dari bosnya di kantor.
"Ada ban serep kan? Boleh saya bantu pasang?" Biantara menawarkan diri. Beberapa tahun yang lalu saat masih sekolah menengah kejuruan, ia pernah bantu-bantu di bengkel mobil tetangganya. Sehingga bila dihadapkan dengan permasalahan seperti sekarang ini, Bian cukup bisa diandalkan.
"Wah, boleh banget. Terima kasih sebelumnya." Agaknya perempuan ini benar-benar tidak mengenali Bian meski keduanya sudah pernah bertemu sebelumnya. Tidak aneh, karena perempuan seperti Kaleela tidak mungkin memperhatikan karyawan ayahnya lebih dari yang semestinya. "Eh, tunggu!"
Bian menoleh. Perempuan itu menghentikan gerakan tangan Bian yang hendak membuka bagasi. "Ya?"
"Kayaknya saya nggak asing deh sama Mas. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Mereka bertatapan. "Saya kerja di OODC." Jawab Bian. "Kemarin kita sempat satu mobil saat berangkat ke Bandara."
"Oh, astaga! Pantes saja kok kayak familer. Maaf ya, Mas. Saya memang nggak terlalu hafal sama anak OODC. Ada beberapa, itu mungkin yang sudah lama."
Bian melepas hodienya terlebih dahulu agar tidak mengganggu aktivitasnya menggerakkan dongkrak untuk melepas ban yang kempes. Meski sepele, tapi cukup memakan waktu beberapa menit sampai akhirnya ban serep terpasang sempurna.
"Mas namanya siapa?" Tanya perempuan itu setelah Bian memasukkan ban yang kempes ke dalam bagasi dan menutup pintunya. "Saya pap ke ayah. Biar ayah tahu kalau ada pegawai OODC yang baik banget nolongin anaknya."
"Biantara. Nggak usah pakai Mas, cukup aja panggil Bian. Kita seumuran. Saya satu angkatan dengan Medina. Di kampus yang sama juga." Kali pertama berkenalan dengan seorang perempuan yang berhasil menarik perhatiannya, Bian merasa terlalu banyak omong. Biasanya ia tidak sereceh ini saat bersama dengan Medina dan Ririn.
"Astaga, saya nggak percaya kalau Mas anak 2000an. Soalnya terlihat sudah dewasa banget."
Di mata Bian, paras kaget perempuan itu benar-benar menggemaskan. "Jadi menurutmu aku cocoknya lahir di tahun berapa?"
"Hehehehe, maaf, Mas. Eh, maksud saya, Bian." Perempuan itu tersenyum kikuk. Bian tidak bisa mengalihkan tatapannya barang sejenak. "Terima kasih sudah dibantu. Pasti bakalan kerepotan banget tadi kalau nggak ada Mas Bian."
"Bian." Koreksinya.
"Ah iya, Bian." Perempuan itu melirik arlogi di pergelangan tangan kiri, lalu berkata. "Harus dengan apa saya balas kebaikan kamu? Sudah makan siang belum? Di dekat sini ada warung masakan padang. Mau saya traktir di sana nggak?"
Jika tidak ada jadwal asistensi yang dilakukan beberapa menit ke depan, akan dengan senang hati Bian menerima tawaran itu. "Sekarang lagi nggak bisa. Saya harus ke kampus. Sepuluh menit lagi masuk kelas. Bisa nggak diambil lain kali?"
"Oh, boleh. Saya kasih nomor saya, ya. Nanti kamu chat saja kalau sudah ready."
Bian merasa bibirnya berkedut hingga sudutnya tertarik ke atas. Perempuan yang berdiri di hadapannya ini yang bersedia memberi kontak pribadi tanpa Bian perlu bersusah-susah memintanya.
Sesampainya di kampus, Bian langsung masuk ke dalam kelas yang sudah dipenuhi dengan para mahasiswa semester lima. Hari ini Bian mendapat tanggung jawab untuk mengantikan dosen pengampu mata kuliah Sistem Informasi Geografis.
"Tumben Mas Bian telat." Ujar salah satu mahasiswa yang duduknya paling depan.
"Baru saja ada urusan mendadak." Sahut Bian sembari mengeluarkan laptop dan proyektor dari dalam tas ranselnya. "Oke, hari ini kelompok berapa yang mau presentasi?"
"Kelompok tiga, Mas." Seorang mahasiswa maju ke depan dan mulai menyiapkan bangku yang akan digunakan untuk presentasi bersama teman-teman satu kelompoknya. Sementara anggota yang lain membagikan hardcopy pada peserta yang tidak bertugas. "Ini fail power pointnya, Mas."
"Failnya kamu kirim lewat email saja!" Tolak Bian.
"Baik, Mas. Ini fotocopynya." Mahasiswa itu menyodorkan dua lembar kertas berisi materi yang akan dipresentasikan.
Diskusi kali ini memakan waktu satu setengah jam. Biantara keluar dari ruang kelas dan langsung menuju ke tempat parkir. Hari ini jadwalnya cukup padat. Salah satu kliennya baru saja memberi kabar jika kedatangannya sudah sangat ditunggu-tunggu di kantor marketing perumahan elit di kota Malang. Mereka menggunakan jasanya membuat sebuah website.
Apapun pekerjaannya jika itu sesuai dengan disiplin ilmunya pasti akan Bian jalani. Mimpi pertamanya yang akan segera ia wujudkan yaitu memiliki sebuah tempat tinggal sendiri yang lebih layak huni. Selama hidup ia hanya mengontrak, dengan mengandalkan jerih payah Jovita. Setidaknya, Bian harus bisa memperbaiki taraf hidupnya menjadi lebih baik karena ia seorang yang berpendidikan.
Beberapa kali Bian mendapat tawaran untuk lanjut kuliah tapi sengaja tidak diambil karena ia ingin fokus bekerja. Ia ingin mewujudkan tujuannya terlebih dahulu sebelum melangkah ke hal yang lain. Di usia yang masih muda dan energik, ia tidak ingin menyia nyiakan kesempatan untuk bekerja keras dan sukses.
Hari sudah hampir petang saat Bian melajukan motornya keluar dari kawasan hunian elit tersebut. Perutnya terasa keroncongan karena belum kemasukan apapun sejak tadi siang. Bian langsung meluncur ke warung langganannya. Dekat kampus.
Bian menyapa beberapa orang yang dikenalnya dan sedikit berbasa-basi, sebelum menempatkan dirinya pada bangku kosong yang jauh dari pintu masuk. Ia tidak berkewajiban untuk segera pulang karena tidak ada yang menunggunya di rumah. Entah apa yang membuat Jovita teramat betah menginap di apartemen Katty. Sudah hampir satu minggu keduanya tak saling bertemu.
Pernah sesekali Biantara mengunjungi warung padang tempat perempuan itu bekerja, tapi nihil. Setelah ditanyai langsung, ternyata Jovita sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya. Bian tidak menginterogasi lebih lanjut. Jovita pasti punya alasan dengan setiap keputusan yang diambil. Bian tidak perlu ikut campur.
"Ya?" Sambutnya setelah menekan tombol terima di layar ponselnya. Panjang umur. Sosok yang sedetik lalu melintas di pikirannya sekarang muncul melalui panggilan daring.
"BIAN, KAMU TRANSFER UANG KE REKENINGKU?!" Suara melengking reflek membuat Bian menjauhkan ponselnya dari telinga. "Nggak usah transfer-transfer gitu. Aku tahu kamu dapat gaji banyak. Tapi pakai saja buat kebutuhanmu sendiri. Ini aku transfer balik."
Bian melanjutkan kegiatan makan yang sempat tertunda. Sambil memandangi layar ponselnya yang sudah diubah menjadi panggilan video. Menampilkan wajah pemanggil yang sedang menekuri sesuatu.
"Kamu lagi makan di mana itu?" Tanya perempuan itu.
"Di tempat biasa." Jawab Bian dengan mulut penuh.
"Jam segini kok sudah makan. Biasanya agak maleman."
"Tadi aku belum sempat makan siang. Tahu-tahu, perut rasanya perih aja."
"Kebiasaan banget kamu itu! Dulu waktu kuliah ngerjain tugas juga sampai lupa makan. Sekarang sudah kerja masih saja begitu. Harusnya kamu mikir, kalau sampai sakit kan malah repot."
Hampir satu bulan hidup berpisah dari perempuan ini, sejujurnya Bian sangat merindukan omelannya. Persis seperti saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
KELIRU (TAMAT)
Romance"Sebuah hubungan yang diawali dengan nafsu dan kesalahan, akan berujung pada penyesalan yang tak berkesudahan."