3. Kertas permintaan

21 4 6
                                    

Hujan mulai berhenti turun saat jam menunjukkan pukul tiga sore. Para murid dari SMK Winadarma akhirnya di perbolehkan untuk pulang. Ria, Zahara dan Tari berjalan beriringan keluar dari kelas setelah menunggu Zahara piket kelas. Mereka tak henti-hentinya membicarakan soal permainan yang mereka mainkan saat jam kosong.

"Kita harus bermain ludo lagi besok dan mengajak Lisa," ajak Zahara dengan bersemangat.

Ria dan Tari mengangguk, mereka tertawa lagi mengingat kejadian di mana Lisa selalu kalah dan akhirnya dia kesal. Setelah menang sekali dia begitu bersemangat, tapi dia tak bisa lanjut bermain lagi karna dipanggil oleh Bu Mur untuk mencari seorang murid dari kelas 10 yang sepertinya membolos.

Ria terkekeh, "Kasian Lisa, padahal dia telihat ingin bermain lagi tadi."

"Bener juga, kita sampai melupakan soal laptopku yang tiba-tiba mati," balas Tari yang membuat kedua temannya kembali merasa takut.

Walau hujan sudah berhenti tapi langit gelap masih terlihat. Teras kelas yang terkena air sisa hujan memantulkan bayangan langit yang gelap itu, membuat suasana sore hari di sekolah Winadarma menjadi mencekam. Sekolah juga sudah mulai sepi karna bel pulang sudah berbunyi cukup lama. Artinya para murid telah pulang, hanya ada beberapa yang masih tinggal di sekolah untuk kegiatan ekskul.

"Hush ... jangan di bahas sekarang," ucap Zahara sambil menutup mulut Tari agar tak berbicara lagi.

Suasana yang sepi membuat mereka bisa mendengar langkah kaki seseorang dari ujung lorong. Karna sangat gelap mereka hanya bisa melihat siluet orang itu dari kejauhan. Merasa akan ada sesuatu yang datang, Ria menarik kedua tangan temannya untuk lari. Mereka akhirnya berlari meninggalkan sekolah dengan terburu-buru. Sebab hujan lapangan penuh dengan genangan air. Suara gemericik air pun terdengar seiring berlarinya mereka keluar gerbang sekolah.

"Sangat menyenangkan sekali bisa lari di genangan air seperti itu," gumam sesosok mahluk yang melihat mereka bertiga melalui jendela berdebu yang usang.

Matanya sangat terfokus pada ketiga siswi itu, kaki mereka yang tak mengenakan sepatu hanya beralaskan kulit menerpa genangan air, sesekali mereka membantu teman mereka yang tergelincir. Walau wajah mereka tak nampak senyuman, dia berpikir jika mereka bertiga sedang bersenang - senang.

"Clair, sedang apa kau di situ?" tanya seseorang yang membuatnya sangat terkejut.

Clair menoleh ke belakang dia melayang menuju ke depan pintu perpustakaan, memandangi orang yang memanggilnya barusan dengan malas. "Kenapa kau ke sini, Kaiya?"

Pertanyaannya membuat Kaiya tertawa. Laki-laki itu masuk ke dalam perpustakaan dan duduk di sebuah kursi yang berdebu. Dia nampak santai saja sambil menaruh sebuah kantong di atas meja yang ada di sampingnya.

"Untukmu Clair," ucapnya sambil tersenyum pada sosok yang masih melayang di depan pintu masuk.

Clair melayangkan dirinya ke samping meja tepat di mana kantong besar itu berada. Dia mengintip ke dalam dan terkejut melihat banyak makanan. Dia menoleh ke arah Kaiya yang masih tersenyum. Tangannya yang tertutup oleh kain mengambil kantong itu malu-malu. Dia kemudian terbang ke atas rak dan menaruh makanan itu di sana.

"Apa kau senang?"

Clair terkejut mendengar pertanyaan yang datang dari mulut laki-laki itu. Dia bingung harus menjawab apa, mengucapkan terima kasih saja terasa keluh di lidahnya. Mahluk dengan kain putih menutupi tubuhnya itu masih terus bimbang, dia duduk di atas rak sambil melihat ke arah Kaiya yang seperti menunggu jawabannya.

"Aku senang, tapi bukan artinya aku memaafkanmu," jawabnya dengan ketus.

Kaiya kembali tertawa dia menyilangkan kakinya, tatapannya menjadi serius, dia fokus menatap ke depan sambil menggumamkan sesuatu. Setelahnya sesuatu terjadi pada tubuh Clair. Dia merasa sangat kesakitan di dadanya seolah tertusuk sesuatu.

Clair de LuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang