"Ini kenapa kaki nggak bisa digerakin!" batin Tari berteriak.
Tari mencoba dengan sekuat tenaga untuk menggerakkan tubuhnya, namun hasilnya nihil. Sadeki yang sepertinya tahu apa yang sedang dia coba lakukan, hanya memandangnya dengan tatapan tajam dengan senyuman sinis terpatri di wajahnya.
"Percuma saja, kau tak akan bisa melakukannya. Sekarang aku ingin tahu apa kau punya hubungan dengan iblis kesepian, karna aura disekitar tubuhmu mengeluarkan kutukan kegelapan," papar Sadeki yang kini sudah berdiri tepat di belakang Tari.
Suasana disekitar sekolah mendadak hening bahkan angin yang lewat tidak terdengar oleh Tari. Dia hanya bisa mendengar detak jantungnya yang berdetak sangat kencang. Perlahan dia mencoba menyesuaikan detak jantungnya agar bisa berbicara dengan normal.
"A-Aku tidak tahu apa yang kau maksud."
Sadeki tertawa sangat kencang sebelum akhirnya meletakkan kedua tangannya di leher Tari. Perempuan tinggi itu hanya bisa merinding ketakutan saat kulit seseorang menyentuh leher jenjangnya. "Hentikan! Aku benar tidak tahu apa-apa!"
"Aku tahu itu," bisik Sadeki tepat di telinganya lagi.
Tubuh Tari tiba - tiba terjatuh ke tanah. Air matanya turun secara pelan, dia mengigit bibirnya sendiri untuk tak mengeluarkan isakan tangis. Orang yang berdiri di belakangnya tadi jelas bukanlah manusia.
"Kau tidak ingin mengangkat teleponmu? Sejak tadi itu terus berbunyi," tunjuk Sadeki ke arah kantong seragam Tari.
Tari dengan cepat menghapus air matanya dan mengangkat telpon itu. "H-Halo Za."
"Tari kamu masih lama di toiletnya?" tanya Zahara di seberang sana.
Tari menghembuskan nafasnya pelan agar tak terdengar seperti habis menangis. "Enggak, ini aku sudah mau ke kelas, kamu tunggu aja di sana."
Namun sebelum menutup panggilan, seorang menarik telepon genggam miliknya. Tari menoleh ke arah orang itu yang tak lain adalah Sadeki. Dia memainkan telepon Tari tanpa izin membuat pemiliknya merasa kesal namun takut untuk merebut kembali benda pipih itu.
"Aku memasukkan nomor teleponku, jangan lupa untuk menghubungiku nanti," ucap Sadeki sambil menyerahkan telepon yang dia pegang itu ke Tari kembali.
"Aku tidak mau!" teriak Tari sebelum akhirnya berlari pergi dari sana.
Sadeki menopang dagunya dengan tangan sambil memperhatikan kepergian Tari. Dia sedikit tersenyum namun senyuman itu perlahan memudar setelah ia melihat seseorang yang mengawasinya dari jendela suatu kelas.
"Gaia, kau membuatku kerepotan sampai harus turun ke bumi," gumamnya pelan seraya menutup kedua matanya menikmati hembusan angin di bawah pohon tempat ia duduk.
Kaiya megenggam erat botol air minumnya hingga hancur. Tak ada orang di kelas yang memperhatikannya karna mereka semua sedang meributkan tentang jadwal piket. Kebisingan itu jelas meganggunya namun dia mencoba untuk mengendalikan emosinya yang akan meledak.
"Kaiya kau mau ke mana?" tanya Syeril yang merupakan penggemar nomor satu Kaiya di kelas.
Laki-laki itu tersenyum sekilas dan tak menghiraukan pertanyaan Syeril barusan. Dia mempercepat langkahnya hingga dia bertemu dengan orang yang saat ini ingin ia temui. Dan kebetulan sekali mereka bertemu di lorong belakang. Orang itu menatap Kaiya dengan kebingungan, sebelum akhirnya berjalan pergi melewatinya.
"Tunggu sebentar, namamu Tari kan?" tanya Kaiya padanya.
Tari memutar tubuhnya untuk melihat orang yang menanyai namanya barusan. Tari menghembuskan nafasnya lelah, barusan dia bertemu orang aneh sekarang harus bertemu orang yang sangat ingin ia hindari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clair de Lune
FantasyDi sebuah perpustakaan tua yang kosong penuh dengan rumor misteri yang aneh, terkadang ada yang melihat benda melayang atau suara tangisan kecil. Namun jika kau datang ke perpustakaan di tengah malam saat bulan bersinar terang kau akan melihat soso...