16. Mata matahari

24 3 0
                                    

Ria masih sibuk memandangi isi perpustakaan. Dia tak menyadari jika kedua temannya sudah berdiri ketakutan di belakangnya. Pintu yang tiba - tiba tertutup sama persis dengan awal dari sebuah film horor. Tari dan Zahara kini hanya bisa berdoa dalam hati untuk mengusir penunggu perpustakaan.

"Ria kamu yakin ada sesuatu di sini?" tanya Tari pada perempuan berkuncir kuda itu.

Ria akhirnya menoleh ke belakang dan tersenyum pada kedua temannya. Tari dan Zahara yang melihat senyum itu merinding ketakutan, mereka takut jika orang yang berdiri di depannya ini sedang kerasukan.

Tari akhirnya menyenggol bahu Zahara, dia memberi isyarat dengan mata untuk mengajak Ria berbicara. Zahara meneguk salivanya takut-takut lalu mulai membuka mulutnya. "R-Ria kamu kenapa?"

Bukannya menjawab Ria malah tertawa, membuat Zahara ketakutan lalu memeluk Tari yang ada di sebelahnya. Tari juga sama takutnya tapi dia berusaha untuk memberanikan diri. Ia mengambil satu buku yang ada di rak untuk pertahanan diri, jika Ria mulai melakukan gelagat yang aneh dia tinggal melempar buku itu padanya.

"Kalian berdua kenapa?" tanya Ria balik setelah menyelesaikan tawanya.

Kedua temannya malah menatap dia dengan wajah kebingungan, membuat Ria kembali tertawa kencang. Tari menghembuskan nafasnya dengan kesal, ia melempar buku yang dipegangnya ke arah Ria membuat perempuan itu mengaduh kesakitan saat benda itu mengenai kakinya.

"Kami ketakutan dari tadi, kamu malah tertawa," ucap Zahara yang ikut kesal.

"Maaf, aku sibuk memperhatikan tempat ini sampai lupa jika kalian juga ada di sini," balas Ria sambil mengusap kakinya yang sakit.

Tari kembali memandangi isi perpustakaan. Tempat itu cukup luas dan sedikit bersih padahal tak ada orang yang berani masuk ke sini. Tumpukan koran di lantai serta bungkus beberapa makanan tergeletak begitu saja, membuat ia semakin curiga dengan tempat yang dirumorkan angker ini.

"Kalian pergi duluan saja ke kelas, aku akan mencari perempuan itu sendirian di sini. Aku rasa dia tak berani keluar karna ada kalian berdua," papar Ria meyakinkan kedua temannya untuk meninggalkan ia sendiri.

Zahara dan Tari awalnya tak setuju dengan pemikiran Ria, namun setelah diyakinkan berkali - kali oleh temannya itu akhirnya mereka menyetujui untuk meninggalkan Ria sendirian di sana.

"Ingat Ria, jika kami sudah menelponmu kau harus kembali ke kelas," tegas Tari padanya sebelum menutup pintu perpustakaan.

Zahara berjalan dengan cepat menuju kelas mereka yang ada di lantai dua. Baru saja menuruni tangga Tari mencegat tangannya. "Za, kamu duluan aja ke kelas. Aku mau ke toilet dulu."

Tari melepaskan tangan Zahara, dia kemudian berlari pergi menuju toilet yang berada di lantai satu. Sedangkan Zahara masih berdiri diam di tangga sebelum suara seseorang menyadarkannya.

"Kau perempuan yang membawa ember waktu itu, kan?" tanya laki - laki di hadapannya memastikan.

Zahara terdiam cukup lama dan kemudian mengangguk. Dia cukup gugup karna kejadian itu sangat memalukan untuk diingat. "Iya itu aku, terima kasih untuk jaketnya. Apakah jaketnya sudah kamu terima, soalnya waktu itu aku hanya melihat temanmu di klub voli dan menitipkan jaket itu padanya."

"Iya sudah aku terima. Tak perlu dipikirkan, aku juga mau berterima kasih karna kamu sudah mencuci jaketku, itu pasti sangat merepotkan."

"T-Tidak merepotkan kok," balas Zahara tergagap saking gugupnya.

"Aku ingin tahu siapa namamu?" tanya laki - laki itu lagi.

"Kau bisa memanggilku Zahara, namamu Riki, kan?"

Clair de LuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang