"BAB. XVIII"

74 19 0
                                    

Langkah Sejeong melambat, dia menengadah menatap langit cerah di atas sana. Padahal siang ini dia ada kuliah, tapi dia berjalan ke arah berlawanan dari tujuannya. Tak jauh dari rumah sakit, ada taman yang disediakan untuk para pengunjung dan pasien yang ingin menghirup udara segar bila mana terlalu penat dan sesak terkurung dalam kamar mereka.

Waktu terus berlalu, tanpa sadar. Dia sudah duduk di sana selama 3 jam menunggu warna jingga. Dari kejauhan, seorang pria sedari tadi memperhatikannya. Lalu seseorang memanggilnya dan dia akan berlari masuk dengan tergesa-gesa. Selang beberapa saat, dia keluar lagi dan masih melihat Sejeong di sana.

Karena merasa dia sudah menyelesaikan pekerjaannya, diapun menghampirinya. Sejeong tak menyadari kehadirannya itu sampai pantat pria menempel di kursi panjang yang dia duduki.

Sejeong menoleh, menatapnya sebentar untuk mengenali pria itu lalu menundukkan kepala menyapanya.

"Apa seindah itu sehingga kau sedari tadi tak memalingkan wajah darinya?" Tanya dia basa-basi.

"Eung!"

"Indah dan menenangkan" jawabnya.

"kenapa langit sangat menenangkan jika di pandang?" Tanya pria itu lagi.

"Kau benar, padahal langit hanya diam, tak mengeluarkan sepatah kata yang menenangkan. Namun heningnya itu mampu menenangkan seisi kepala yang runyam dan hati yang gelisah. Mungkin seperti itu"

Pria itu mengangguk, "mungkin karena di atas sana tak ada kehidupan manusia" timpalnya.

Sejeong mengalihkan pandangannya dari langit ke arah pria itu muncul tadi, "tempat itu tiap hari ramai dan berisik yah?" Dia balik bertanya.

"Itu juga tempat yang menakutkan, kau tahu. Sehun pernah bilang padaku kalau dia benci tempat itu. Sudah dua kali dia hampir kehilangan orang yang dia cintai di sana," cerita Suho.

Sejeong mengalihkan pandangannya menatap dokter yang telah menyelamatkannya itu bingung, "dua kali?"

Flashback on

Sehun pov

Hari dimana aku  menggendong mu dengan lumuran darah, adalah hari dimana tempat itu lebih berisik dan sibuk dari biasanya. Aku menerobos masuk, berteriak meminta tolong seperti orang gila.

Malam itu, seperti mimpi buruk bagiku. Tangan gemetar hebat. Lalu kemudian aku membuang semua harga diriku untuk berlutut di depan seorang pria yang kini merebut semua kebahagiaanku, memintanya untuk menyelamatkanmu.

Saat kau ada didalam ruang operasi, aku terlelap sejenak. Mata enggan terbuka meski aku berdesir takut. Darah dan basah dimana-mana, malam itu hening sekali. Lantai koridor terasa dingin, lalu aku terbangun sembari memegang kepalaku pening. Tubuhku nyaris mati rasa dan tak bisa merasakan apa-apa, semuanya kebas.

Syukurlah malam itu kau selamat, lalu keesokannya aku menjenggukmu untuk yang terakhir kalinya sebagai kekasihmu.

Aku membuka horden dan jendela, agar cahaya masuk ke kamarmu. Berharap kau tak merasa pengap ketika siuman nanti.

"Langitnya kelabu, padahal ini masih pagi. Seharusnya kau melihat penampilanku yang tampan hari ini. Tidak, kau tak boleh melihatnya." Aku duduk di sampingmu yang masih terlelap itu, mengajakmu mengobrol sebelum menghadiri hari pertunanganku.

Rasanya, aku lelah sekali. Sejeong, aku tak ingin kemana-mana dan bertemu siapa-siapa. Aku ingin disini, selamanya bersamamu. Aku meraba saku jasku, mengeluarkan sebuah kotak. Mengenggamnya erat penuh pilu, harusnya cincin ini kusematkan dijarimu. Harusnya kau dan hanya kaulah tujuan dari semua hal yang ingin kulakukan.

"Rewrite" (The End)✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang