ABPL - TIGALAS

18 9 0
                                    


13. Tumbal

***

.

.

.

.

.

Tiga puluh menit sudah Alfarel berjongkok dan bersandar di balik tembok kamar Alzanee. Tangannya dengan setia memegangi ponselnya, bahkan dia daritadi menunggu di room chat aplikasi chatting milik gadis tersebut. Sungguh, perihal kesetiaan Alfarel berhak mendapatkan juaranya.

Ponselnya terdapat satu panggilan telepon masuk.

Dengan segera Alfarel menekan tombol hijau, tanpa memperhatikan nama orang yang memanggilnya. Karena Alfarel mengiranya orang yang meneleponnya, sudah pasti gadis yang sudah dia tunggu dari tiga puluh menit yang lalu.

"Halo, Zaa. Gimana--"

"Zaa. Zaa. Siapa Zaa? Gue nggak kenal."

Alfarel akhirnya memperhatikan layar ponselnya. "Lah, anjir. Ada apa sih, Chan? Tumbenan amat lo main telepon."

"Maksud lo apa, ya, Rel? Masukin gue ke data punya lo, mau jadikan gue tumbal 'kan? Jahat betul gue punya kawan."

"Kagak begitu rencana gue. Entar dah, jam--" ucapannya menggantung. Alfarel kembali memperhatikan layar ponsel, melihat jam yang ada di layar pipihnya. "Sekarang baru jam sebelas. Kira-kira gue ke basecamp jam empat atau jam tiga."

"Okay. Gue tunggu, gue takut lo jadikan tumbal. Serem gue, kagak berani--"

Panggilan telepon sudah diputuskan oleh Alfarel, secara sepihak. Padahal sudah jelas Erchandra masih berbicara dan masih mengadukan ketakutannya. Namanya juga Erchandra dan Alfarel, tidak pernah akur dimana-mana.

"Zaa. Masih lama kah?" gumam Alfarel dengan suara sangat pelan.

"Lagi ngapain sih, Zaa? Kok lama banget. Lo nggak apa-apa 'kan? Apa di dalam lo lagi merasakan kesakitan, sampai lo nggak mau gue lihat."

"Sudah empat puluh menit," keluhnya. Alfarel mengetuk-ngetukkan jarinya di lantai, sebagai tanda kegelisahan.

Ponsel Alfarel kembali berdering, ada seseorang yang kembali meneleponnya.

"Ya, Chan? Nunggu sebentar memang sulit, ya?"

"Chan? Chanes anak kelas sebelas IPA 'kah? Ini gue loh, Faa."

Alfarel membulatkan matanya, seketika mulutnya sedikit terbuka. Dua kali sudah dia melakukan kesalahan yang cukup fatal, tidak memperhatikan terlebih dahulu siapa yang memanggilnya di sambungan telepon. Dua kali kesalahannya, membuat Alfarel semakin dipermalukan oleh kelalaian sendiri.

Pintu kamar terbuka lebar, membuat Alfarel yang bersandar di dekat pintu pun terjungkal kebelakang.

"Astaga, Faa." jerit Alzanee terkejut. Mendapati tubuh Alfarel yang terjungkal kebelakang, bahkan kepalanya terpentok ke lantai. "Afaa, sorry."

"Sumpah, gue nggak sengaja. Gue nggak tahu, kalau lo masih menunggu gue di sini." imbuhnya merasakan bersalah. Alzanee menjulurkan tangannya. "Ayo, sini. Gue bantuin."

ANNOYING BUT PERFECT LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang