Dia Bersama Hujan

26 4 0
                                    

Suntuk, itulah yang menghantuiku sedari tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suntuk, itulah yang menghantuiku sedari tadi. Ku tatap nanar torehan warna hitam di kelopak mata bawahku, kuhembuskan napas kasar sembari mengoleskan concealer disana, ya setidaknya penampilanku tidak terlihat sama buruknya dengan suasana hatiku.

"Yak, Ra! Lihatlah apa itu yang menggantung di bawah matamu, kau jelek sekali"

"Nih, pakai! Setidaknya sahabatku ini tidak nampak seperti zombie" ucap Mark sambil menyerahkan benda berbentuk tabung dengan warna yang sama seperti kulitku.

Ku tatap lamat - lamat apa yang sejak tadi ku lakukan pada permukaan wajahku, ya setidaknya cukup untuk menutupi apa yang sebenarnya kurasakan. Kuberalih menggunakan almamater merah ku dan segera pergi menuju bangunan yang sekarang terasa sangat amat membosankan.

***

Sepulang sekolah, saat rintik air hujan beramai - ramai mengunjungi baskara, dengan gusar ku mengibaskan remahan air hujan yang membasahi almamater dan rambutku saat ku nekat berlari menuju gedung utama untuk segera pulang. Sesampainya di gedung utama, aku menghela napas lega. Setidaknya hari membosankanku ini terlewati dengan cukup baik.

Hujan dan Maraka, dua perpaduan yang saat ini bisa membunuhku. Hujan saat dimana biasanya aku dengan senang hati melengkungkan bibirku ke atas sambil melihat buliran putih yang seakan akan berbaris menunggu giliran untuk menyentuh bumi dan tentunya ditemani oleh omelan bahkan nyanyian dari Maraka. Namun, saat ini yang kulakukan hanya diam di tepian pelataran gedung utama, ku tak lagi peduli akan rintik hujan yang kian menghujam dengan pasti kuberlari menuju tempat yang sepi. Ya, aku butuh sendiri dari kerumunan orang orang yang sama sekali tidak benar - benar menganggap kehadiranku.

Di sinilah kaki ku berlabuh, di sebuah kedai kopi tua yang nampak sepi, namun terkesan hangat. Kulangkahkan kakiku menapaki lantai kayu, disambut gemrincing lonceng dan senyuman wanita tua yang ku perkirakan umurnya terpaut lebih dari setengah abad dengan umurku. Aku segera berjalan menuju tempat duduk paling belakang, dekat dengan jendela tua yang tampak semakin melanolis.

Kunikmati rintik hujan yang tak ada hentinya datang mengunjungi baskara di sore hari yang murung ini. Sore dan senja, senja yang biasa kulalui bersama ocehan Maraka kini juga tampak sama murungnya dengan diriku. Surai keemasan yang yang tak sampai di pelupuk mata, menyisahkan luka dan hampa. Rintik - rintik kilau sendu, membasahi biru yang menghijau bak kalbu. Menuai rasa mengetuk hampa, ingin ku menghubungi Maraka, namun tak sampai hati ku menganggunya saat ia juga kesusahan di sana.

Entah berapa lama aku terdiam mengamati buliran hujan yang tak kunjung reda, saking asiknya hingga kuabaikan larutan hitam yang kini tak panas lagi. Ku sesap, pahit, seperti tak kunjung menerima sisa - sisa gula dalam larutan itu. Ku kembali menatap hujan, tak ada niatan sekalipun ku pergi untuk pulang. Selagi aku masih sendiri disini tanpa ada yang mengetahui keberadaanku, sambil menunggu seragamku kering . Namun, aku salah, beberapa detik setelahnya terdengar gemrincing lonceng dari pintu masuk. Mau tak mau aku mengarahkan atensi untuk menoleh ke sumber suara.

Pupil mataku melebar, melihat sosok remaja laki - laki yang menggunakan almamater yang sama dengan yang kugunakan, sama - sama terlihat basah. Ia memasuki kedai dengan senyumnya yang mengembang menyapa wanita tua pemilik kedai ini. Ia mengibaskan surai cokelat madunya sebelum mengambil persinggahan tak jauh di depanku. Netra hitamnya sempat berpapasan dengan netra cokelat madu milikku, sebelum ku mengalihkan pandangan dengan reaksi keterkejutanku.

Tergesa, tergesa - gesa aku merapikan seragam dan rambutku untuk segera pergi dari sini. Aku tak ingin ia melihatku atau mengenalku. Sudah cukup aku sendirian, berteman dengan kesepian setiap hariku.

Dengan langkah cepat aku melangkah keluar dari kedai ini setelah aku meninggalkan beberapa uang untuk membayar kopi yang aku lupa menanyakan harganya tadi. Dengan langkah cepat ku melangkah menuju pintu masuk yang terlihat semakin jauh dari jangkauanku.

"Hey!" suara lembut itu mengagetkanku, tapi sama sekali tak ku hiraukan.

"Keyra Kanaya!" lagi - lagi suara itu menghentikanku, namun kali ini membuat ku terkejut dan mau tak mau berbalik badan kearahnya. Remaja laki - laki bersurai cokelat itu ternyata telah berdiri dua lagkah di belakangku.

"Name pin mu," ucapnya sambil memandangiku yang tampak terkejut dengan ekspresi datar yang biasa ku tunjukkan.

"Terima kasih," sepatah kata yang ku ucapkan, namun mampu mengembangkan senyum pemuda ini. Manis.

"Sama - sama, lain kali hati - hati," ucapnya sebelum kembali ke persinggahannya, tak lupa dengan senyum yang mengembang di bibir manisnya itu.

'Haidar Chandra' nama yang tertera pada name pin almamater merahnya. Dia dengan rambut dan seragamnya yang basah. Dia yang datang bersama hujan.

 Dia yang datang bersama hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haidar Chandra Yudhistira

Dia yang datang bersama hujan

.

21st September 2019

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

21st September 2019

rewrite 22nd July 2023

Tentang Rasa || Kim SunwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang