Sunday

25 5 0
                                    

Sebuah pagi yang cerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah pagi yang cerah. Aku melangkahkan kakiku pelan menyusuri satu persatu anak tangga spiral menuju lantai dasar. Di meja makan aku melihat Kak Eric tengah duduk santai dengan meminum segelas jus mangga kesukaannya. Sedangkan Kak Yanuar tengah sibuk menyiapkan sarapan. Keduanya terlihat sudah rapih dengan outfit casualnya. Aku memasang senyum sebelum menyapa dan duduk dihadapan Kak Eric.

"Gini kek senyum, ga murung mulu," ucap Kak Eric kemudian sebuah usapan dari Kak Yanuar tak lama setelah aku duduk.

"Nih," ucap Kak Yanuar sambil memberikan segelas susu cokelat kesukaanku. Sedangkan aku hanya tersenyum dan meminumnya dengan santai.

"Ra," panggil Kak Eric dan seketika kudapati wajah seriusnya. Aku hanya menjawabnya dengan sebelah alis yang terangkat.

"Mulai besok, tidak ada lagi kata menjadi orang asing disekolah, aku akan melindungimu ketika ada yang menganggumu, aku juga sudah membicarakannya dengan Mark," jelas Kak Eric yanh membuat alis ku berkerut.

"Lalu bagaimana dengan Kak Samudra?" tanyaku ragu.

"I think he already knows about us," jawab Kak Eric dengan wajahnya yang terlihat santai.

"Wait, Samudra? Samudra temen mu itu Ric?" tanya Kak Yanuar yang baru saja duduk setelah semua makanan tersaji.

"He's Rajendra," ucapku pelan. Dapat kulihat Kak Yanuar terdiam kemudian mendesis pelan.

"Kita sarapan dulu, sepulang dari kolumbarium, kita ke rumahku dan mengambil barang-barang Keyra, mulai hari ini kamu tinggal di sini, biar bibi yang urus rumah kakak," jelas Kak Yanuar mengakhiri perbincangan. Ya, aku akan kembali kerumah ini setelah tiga tahun aku menempati rumah minimalis dua lantai milik Kak Yanuar. Aku hanya menhgangguk kemudian memulai sarapan kami dengan keheningan.

***

Kini kedua kakiku bergetar kala mobil navy milik Kak Eric melaju pelan memasuki pekarangan dari sebuah bangunan bewarna putih yang memiliki arsitektur modern itu. Tubuhku benar-benar lemas ketika kakiku menginjak lantai marmer putih dengan pintu yang otomatis yang perlahan terbuka ketika Kal Yanuar menempelkan kartu di sana. Kak Eric mengenggam tangan ku erat seketika pintu besar itu terbuka seutuhnya. Menyuguhkan jajaran rak putih gading yang berisi tabung-tabung berisi abu jenazah.

Aku terdiam duduk di kursi panjang yang berjajar ditengah ruangan. Tangan Kak Eric masih terus mengenggam erat tangaku. Aku dapat merasakan kesedihan dan kerapuhan di saat yang sama ketika melihat punggung Kak Eric bergetar pelan, ia menangis. Perlahan aku mengusap punggung tangan yang berukuran lebih besar dariku itu dengan harapan aku bisa sedikit menenangkannya. Dari kejauhan aku juga melihat Kak Yanuar yang sedang berdiri di depan abu ayah dan bunda. Badan yang menjulang tinggi dengan bahu lebar itu kini terdunduk dalam, ringkih. Hatiku mencelos melihatnya. Air mataku mengalir tanpa permisi.

Tentang Rasa || Kim SunwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang