Siang hari yang panas. Berbanding terbalik dengan hari-hari lalu yang langit selalu menumpahkan buliran air hujannya. Aku terbaring lemah di atas kasur ku. Selimut tebal bewarna putih membungkus tubuhku dari ujung kaki hingga hanya menampakkan kepala mungilku. Aku melirik jam yang menghiasi tembok kamarku yang bewarna abu. Pukul dua siang. Aku menghela nafas bosan. Namun, rasa bosan ku terganggu oleh dering posel pintarku yang sedari kemarin tidak ku sentuh. Untung baterainya masih banyak, batinku dalam hati.
Mataku seketika melebar melihat nama seseorang yang terpampang nyata sedang menungguku menggeser tombol hijau untuk memulai panggilan di sebrang sana. Hatiku bergetar. Perlahan jemariku menggeser tombol hijau itu. Namun, lidah ku kelu. Tidak ada satupun dari kami yang memulai pembicaraan.
"Ra," runtuh, pertahananku runtuh setelah mendengar suara yang akhir-akhir ini menghilang. Beberapa detik kemudian panggilan teralihkan menjadi panggilan video.
"M-mark," ucapku lirih melihat sosok pemuda yang setahun lebih tua dariku. Wajah tampannya terlihat lelah walaupun senyuman tidak luntur dari bibir tipisnya. Kacamata bulatnya membingkai mata indahnya, menyembunyikan kantung matanya yang menghitam. Hatiku mencelos melihat Mark jauh dari kata baik-baik saja.
"How are u?" tanya Mark.
"As u can see, Mark," jawabku sambil memberikan senyum.
"Are u sick?" tanya Mark dengan raut muka berubah menjadi khawatir.
"Hanya demam, Mark. Bukan sesuatu yang menghawatirkan," jawabku mencoba menenangkan Mark.
"Heummm, okay, but I'm already know that from Eric," ucapnya pelan. Kulihat mimik wajahnya mengeruh.
"I miss u," balas ku sambil meletakkan ponsel hingga mengarahkan kamera ke langit-langit.
"Ra," panggil Mark yang hanya ku balas gumaman.
"Liatin dulu mukanya," ucapnya dengan nada jengkel aku hanya terkekeh pelan sebelum mengembalikan ke posisi semula.
"Listen, Ra. Aku tahu kamu sedih, aku tahu kamu ketakutan di sana. Tapi jangan pernah melakukan hal yang membuatmu sakit. Kamu tahu, aku khawatir, Ra. Aku tidak bisa menepati janji untuk menjagamu karena aku terjebak di sini," ucapnya terdengar putus asa.
"Mark, di sana tempatmu, jangan khawatirkan aku," balas ku sambil menatap layar yang menunjukkan Mark versi dua dimensi.
"Kalau di sini tempatku, maka aku akan dianggap ada, keberadaanku tidak akan di salahkan karena kepergian ayahku," jawabnya.
"Mark!" ucapku dengan sedikit membentak membuat remaja yang berada dalam panggilan video itu sedikit terkejut.
"Jangan berkata seperti itu," ucapku tanpa sadar aku pun menangis.
"Don't cry sweetheart," ucapnya dengan suara parau.
"Tempatku pulang ada di sana, Ra. Jadi jaga kebahagiaan dan kehangatan itu sambai aku kembali ya?" ucapnya dengan muka yang terlihat putus asa.
"Ya, Mark," jawabku sebelum keheningan mengambil alih.
"By the way, Mark. I've met him," ucapku pelan.
"Who?"
"Haidar,"
"Haidar Chandra Yudhistira maksudmu?" tanya Mark dengan raut muka yang tidak bisa ku tebak. Sedangkan aku hanya mengangguk.
"Dia tidak macam-macam kan?" tanya Mark.
"Tidak, Mark. Aku hanya dua kali bertemu dengannya," jawabku.
"Bertemanlah dengannya, setidaknya ada yang menjagamu di sana," ucap Mark.
"Bagaimana kamu tahu dia bisa menjagaku?" tanyaku dengan curiga.
"Hufttt, he is my cousin," cicitnya.
"He- what?" mataku melebar. Terkejut atas ucapan Mark.
"Kami dekat sebelum aku pindah ke Jogjakarta. Kemudian dia menyusulku kemari. Aku banyak menceritakan tentang dirimu," jawab Mark yang seketika membuatku bingung.
"Dia nampak tidak mengenaliku, Mark," ucapku membuat senyuman kembali terukir di bibir pemuda itu.
"Memang, aku tidak pernah memberitahu nama dan wajah mu, jadi kalau kamu ketemu dengan Haechan bilang saja kalau cewenya Mark gitu," ucapnya dengan mengedipkan sebelah matanya membuatku tertawa dan bergidik.
"Cewemu your eyes," tukas ku membuat Mark terpingkal.
"Ra, lets make a promise," ucap Mark tiba-tiba.
"Janji apa Mark?"
"Jaga kebahagiaan ini sampai kita bertemu lagi," ucapnya.
"Kau juga harus berjanji akan bahagia di sana, bagaimana pun keadaannya," tutur ku yang dibalas anggukan oleh Mark.
"I promise," ucapnya.
"Aku akhiri panggilan videonya, istirahatlah," sambungnya dengan senyuman khas milik Mark yang selalu ia perlihatkan.
"Heumm, ya, baik-baik di sana Mark," ucapku dengan raut muka sedih yang tidak bisa kututupi lagi.
"Jangan sedih dong, Ra. Hahahaha, kita masih bisa bertukar pesan, dan video call di lain waktu," hiburnya sedangkan aku mengangguk dengan senyuman kaku.
"Dah, bye sweetheart," ucap Mark sambil melambai.
"Dah Mark," tutur ku sebelum panggilan itu benar-benar ditutup oleh Mark. Aku menghela nafas dan tersenyum memandang langit-langit kamarku.
lets make a promise
.
6th August 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rasa || Kim Sunwoo
Teen FictionJatuh bukan sekedar kata, malainkan rasa Jika aku ditakdirkan menjadi hujan, maka aku akan selalu berdiri, dan siap kau jatuhkan berkali - kali . . . #tentangrasa - disclaimer: all about halusinasi penulis sebagai fans Eric dan Sunwoo garis keras so...