Denting jarum jam besar terdengaf begitu menggema. Suaranya tajam memenuhi seluruh penjuru ruang ekstrakurikuler olimpiade yang dipenuhi buku-buku seperti perpustakaan kedua. Kali ini aku memilih untuk belajar olimpiade di ruangan ekstrakurikuler yang terletak di gedung kreativitas. Hampa, itulah yang aku rasakan. Ya, kali ini aku sendiri, tanpa ditemani Kak Samudra yang ntah mengapa hari ini tidak hadir.
Otakku kembali teringat akan sosok remaja laki-laki yang kini tengah terbaring lemah di rumah sakit. Sosoknya yang hangat, penuh dengan senyuman, dan periang membuat eksistensinya cukup banyak membekas dalam hatiku. Sedikit terdiam sebelum kembali fokus pada kertas-kertas di hadapanku.
Cukup lama aku larut dalam duniaku hingga sebuah suara pintu yang terbuka mengalihkan atensiku. Kudapati seorang guru perempuan berusia setengah abad lebih tua dariku memasuki ruangan. Kacama bulatnya bewarna merah cerah, mencolok se-mencolok warna bibirnya yang dipoles penuh dengan lipstick. Seorang guru yang dikenal cukup disiplin dan kejam, aku terdiam dan sedikit memberikan senyum melihat guru matematika tersebut menghentikan langkah kakinya di depan meja ku. Alis tipisnya yang menukik tajam melihatku dengan tatapan yang errr.. sedikit menyeramkan.
"Perkembangan yang cukup bagus," ucapnya setelah memeriksa puluhan soal yang sudah aku kerjakan.
"Thanks, ma'am," ucapku pelan.
"Rupanya kau memiliki waktu yang cukup luang, kids," ucapnya membuatku mengerutkan alis.
Mulutku terbuka hendak menanyakan maksud dari pernyataannya. Namun, sebelum aku mengeluarkan suara, nampak seorang guru yang seusia dengan guru matematika, Mrs. Wati, memasuki ruangan diikuti oleh seseorang yang sangat familiar mengekor di belakangnya.
Sosok pemuda laki-laki berambut pirang, ya siapa lagi kalau bukan Kak Eric. Berjalan pelan dengan membawa sebuah IPad di salah satu tangannya. Mukanya terlihat lelah, mata cokelatnya menatap manik mataku sebelum tersenyum tipis. Tubuhnya terlihat sangat proporsional, dibalut kemeja putih yang dilapisi rompi kuning, nampak menawan tanpa adanya jas yang seharusnya 'wajib' digunakan di hari senin. Di depan Kak Eric berjalan seorang guru perempuan, guru bahasa Inggris yang lumayan suka seenaknya sendiri :). Aku menatap sedikit malas melihat setelah serba pink yang guru tersebut pakai. Perawakannya yang hanya sampai sebatas lengan Kak Eric tampak tidak imbang dengan berat badannya. Rambut pendek yang di tata agar melengkung ke dalam membuatnya terkesan sedikit kuno.
"Karena kamu sudah banyak belajar, jadi ibu minta untuk membantu Eric untuk berlatih dengan bahasa Inggris dengan Mrs. Luna," ucap Mrs, Wati yang membuatku menaikkan alis.
Sebuah permintaan dua orang guru membuatku mau tidak mau membaca dan memahami kilat materi debat yang akan kugunakan untuk berdebat dengan Kak Eric. Sial, umpatku dalam hati. Dua orang yang fluent bahasa Inggris, kalau meminta tolong siswa lain tidak ada yang mengimbanginya, kata Mrs. Luna yang membuatku menatap kesal ke arah Kak Eric yang menggaruk tengkuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rasa || Kim Sunwoo
Teen FictionJatuh bukan sekedar kata, malainkan rasa Jika aku ditakdirkan menjadi hujan, maka aku akan selalu berdiri, dan siap kau jatuhkan berkali - kali . . . #tentangrasa - disclaimer: all about halusinasi penulis sebagai fans Eric dan Sunwoo garis keras so...