prolog

1.9K 95 2
                                    

Jeonghan duduk memeluk lutut, seolah melindungi dirinya dari apa saja yang bisa merenggut keputusannya. Matanya menerawang, menatap langit sore yang tampak berawan. Warna oranye senja yang biasanya masuk melalui jendela apartemennya kini hanya tampak kelabu. Temaram, sebab ia sengaja tidak ingin menyalakan lampu, membiarkannya tampak kabur dalam gelap. Bukan, bukan karena ia membenci terang yang akan menampakkan apa-apa yang terlihat, atau apa yang telah terjadi sebelumnya di sini. Ia juga tidak membenci pria yang sedari tadi hanya mondar-mandir di dapurnya dengan frustrasi. Pria itu, temannya, sahabat karibnya.

Baginya, Seungcheol bukan hanya seorang teman baik. Seungcheol adalah karib terbaik yang pernah ia miliki selama ia hidup, bahkan seharusnya akan tetap seperti itu meskipun malam itu berusaha meruntuhkan segalanya. Seungcheol memahami pemikirannya, keputusannya, apa-apa yang ia sukai, dan apa-apa yang ia benci tanpa berusaha terlalu memaksanya. Setidaknya, ketika ia berpikir bahwa seluruh laki-laki di dunia ini adalah sejenis makhluk brengsek yang hanya tahu menyakiti, Seungcheol adalah pengecualian. Ia akan selalu jadi sahabatnya, selalu.

Selalu. Jika saja mereka bisa kembali ke hari itu, dua bulan lalu, di tempat ini sebelum mereka menghancurkan hubungan yang sudah mereka bangun selama bertahun-tahun. Sebelum mereka terlempar pada hari ini dalam keadaan yang lebih babak belur. Jeonghan tahu, apa-apa di antara mereka memang mulai sedikit berubah sejak hari itu. Tapi predikat Seungcheol masih sama. Dan ia tidak ingin mempertaruhkan itu semua dengan apa yang Seungcheol harapkan.

Jeonghan sudah mengganti posisi tubuhnya menjadi meringkuk ketika Seungcheol berjalan menghampirinya. Duduk bersimpuh di lantai dekat kepalanya, meski begitu matanya hanya menunduk menatap lantai, tak berani bersitatap dengannya.

"Kau sudah selesai?" ucap Jeonghan pelan, tatapannya kosong meski terlihat memandangi helaian rambut pirang Seungcheol di hadapannya.

Seungcheol tidak tahu 'selesai' apa yang dimaksud oleh Jeonghan. Jika yang dimaksud adalah kemelut atau benang kusut di dalam kepalanya; maka ia sama sekali belum selesai, barangkali tidak akan pernah selesai. Jadi ia memilih diam beberapa waktu sembari menghirup napas dalam.

"Cheol, kau tahu aku tidak menyalahkanmu."

"Aku tahu," jawab Seungcheol lemah.

"Lalu, apa lagi yang—"

"Tidak bisakah kita mencari solusi lain?" Kali ini, Seungcheol mengangkat kepalanya, matanya bersirobok dengan mata Jeonghan dalam kecanggungan dan kebingungan.

Jeonghan mengalihkan pandangannya dengan emosi yang mulai sedikit tersulut. "Kau masih berpikir untuk membuangnya!"

Seungcheol tersentak. "Apa maksudmu? Aku tidak pernah sekali pun berpikir seperti itu!" Napasnya terengah, menahan amarah yang juga ingin menguasainya. "Aku memang brengsek karena melakukan ini padamu. Tapi kau tahu, kita sama-sama tahu, aku tidak seperti dia yang meghancurkan hidupmu di masa lalu itu-walaupun sekarang aku mungkin justru menghancurkanmu seperti bom atom."

"Berhentilah membandingkan dirimu dengannya, kalian tidak sama!"

"Kau yang membuatku berpikir seperti itu!"

"Kita berdua sama-sama brengsek!"

Air mata Jeonghan mulai merebak. Ia membalikkan badan untuk memunggungi Seungcheol agar tidak bisa melihatnya menangis. "Pulanglah," ucapnya nyaris tercekat, "aku tidak ingin mengambil resiko untuk membencimu."

Seungcheol memandangi punggung yang terguncang pelan itu. Ia tahu Jeonghan menangis, tapi tangannya kini bahkan terlalu lancang jika ingin mencoba menyentuhnya walau hanya sekedar menenangkan. Ia hanya bisa beranjak, mengambil jaketnya dan berjalan ke arah pintu. "Bisakah sekali saja pikirkan tawaranku?" ucapnya sebelum benar-benar meraih gagang pintu.

"Just go home, please."

FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang