Pintu kamar Jeonghan dibuka dan ditutup kembali dengan hati-hati. Di sana, berdirilah Jisoo yang bersandar di daun pintu, sedang menjambak rambutnya sendiri, frustrasi. Ia kemudian menyadari Seokmin yang berdiri, hendak menghampirinya. Tapi Jisoo meletakkan telunjuk di bibir dan menggeleng, menunjukkan isyarat agar Seokmin tidak berkata apa-apa terlebih dahulu.
Jisoo berjalan ke dapur, mengambil air dingin di kulkas dan menuangkannya ke gelas. Ia minum air itu sampai separuh lalu meletakkan gelasnya kembali dengan cengkraman tangan yang masih begitu erat. Sementara itu Seokmin yang sudah mengekorinya sejak tadi hanya berdiri di belakang sambil memegang sikutnya, menunggunya bicara.
"Seok," rengeknya. Ditenggelamkan kepalanya ke dada sang suami.
"Iya, sayangku."
Jisoo membuka mulutnya, namun urung bicara. Ia menggeleng dan semakin melesakkan kepalanya ke dada Seokmin, mencari kehangatan di saat seluruh kepalanya terlalu penuh dan berdenyut.
"Kenapa?"
Ingin sekali ia menceritakan semuanya pada sang suami. Berharap Seokmin bisa membantunya mengurai segala kerumitan itu dan mencari solusi. Tapi waktunya tak cukup dan Jeonghan melarangnya bercerita sekarang.
Namun, ia harus berpikir tepat secepatnya. Ia harus kembali menghadapi Jeonghan dan segala keputusan gilanya. Ia tidak ingin menjadi saudara yang konservatif atau egois, tapi apa pun yang ia katakan seperti akan tetap menekannya dari segala sisi. Jisoo harusnya lebih bisa memberikan dukungan moral untuk Jeonghan dalam keadaan seperti ini. Bukannya mempertanyakan keputusan yang telah dibuat Jeonghan.
"Menurutmu, bagaimana cara memahami pikiran orang gila?" cetusnya tiba-tiba.
Alis Seokmin berkerut. Namun tangannya mengusap punggung Jisoo pelan. Ia berkata, "Hanya ada dua cara. Berpikir seperti mereka atau katakan saja apa yang kau mau. Memangnya mereka akan peduli dengan yang kau pikirkan?"
Jisoo mengangkat wajahnya, sementara sebelah tangan Seokmin beralih untuk membelai kepalanya. "Aku beruntung sekali kau tahu. Aku tidak pernah menyesal menikahimu," katanya, lantas memberikan kecupan singkat di sudut bibir Seokmin. "Doakan aku!"
Belum sempat Seokmin berkata apa-apa, Jisoo sudah berjalan kembali ke kamar tidur Jeonghan.
Jeonghan masih duduk di tempatnya semula—di tepi ranjang—seperti terakhir kali. Ia mendengar pintu terbuka, menatap Jisoo yang masuk, lalu kembali menunduk. Tangannya meremas pelan perut, sebab atmosfir di sekitarnya terasa ikut menciptakan nyeri di sana. Ia tidak berani menatap Jisoo.
"Boleh aku menyentuhnya?" tanya Jisoo yang duduk kembali di sampingnya.
Jeonghan membisu, namun kemudian mengangguk. Tangan Jisoo terasa dingin saat menyentuh kausnya. Mengusap pelan perutnya yang masih agak datar.
"Han," ucap Jisoo, "aku tahu banyak pasangan di luar sana yang langgeng tanpa menikah lalu memiliki anak. Atau mereka yang memilih melahirkan sendirian karena pasangannya menolak, mereka yang merasa mampu secara finansial maupun mental. Kau sedang berpikir seperti itu bukan? Tapi tahukah kau ... kau dan Seungcheol tidak masuk dalam semua kategori itu."
Jisoo kini beralih untuk meraih tangan Jeonghan, menggenggamnya. "Keputusan itu, semua yang kau pilih adalah hakmu. Tapi aku hanya akan mengatakan satu hal, ada ikatan yang tidak bisa kau patahkan antara bayimu dengan ayahnya." Jisoo mengambil napas dan mengembuskannya pelan. "Kau bisa membenci Seungcheol atau apa pun alasanmu mendorongnya pergi. Tapi jika kau mempertahankan bayi ini, Seungcheol juga punya hak yang sama seperti dirimu untuk merawat dan menjaganya. Pikirkanlah kembali."
Jeonghan mengalihkan wajahnya, menolak bersitatap dengan Jisoo. "Aku tidak peduli."
Jisoo merapatkan bibirnya. Ia rasa apa yang dikatakannya hanya bisa sebatas ini. Jisoo kemudian mengangguk dan berkata, "Kau masih menganggapku saudaramu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower
FanfictionBagaimana mungkin dua orang yang selalu bersama tak pernah sekali pun memiliki perasaan satu sama lain? "I feel like, I'm waiting for something that isn't going to happen." a Jeongcheol alternative universe ‼️bxb, mpreg, angst, implicit mature conte...