16. complication of words

466 52 0
                                    


Setelah terbangun berkali-kali malam itu, Jeonghan akhirnya bisa tidur setelah subuh dan bangun saat alarmnya berbunyi. Sudah setengah 8 ketika ia akhirnya benar-benar beranjak dari kasur.

Badannya terasa hangat, dan kepalanya sedikit pening. Tapi ia tidak berpikir ini serius, karena memang ini bisa saja efek kurang tidurnya semalam. Jeonghan sudah lama sekali tidak mengalami mual di pagi hari, periode paling menyiksa itu sudah berakhir sejak kehamilannya berusia 7 minggu. Kalaupun ia merasa mual, biasanya takkan bertahan lebih dari lima belas menit.

Tapi sejak duduk di kloset hingga menyantap sarapannya pagi ini, rasa mual terasa mengaduk-aduk perutnya hingga naik ke kerongkongan. Jeonghan tak lagi berselera melanjutkan sarapan, ia kemudian memilih membuat teh hangat. Ia usap perutnya naik turun sambil sesekali menyesap tehnya, mencoba menenangkan diri dan satu lagi nyawa yang ada bersamanya.

"Kenapa sih, Nak? Kangen ayah?" Ia harap, keadaan tubuhnya kali ini bukan karena ia juga sedang gelisah. Jeonghan ingin membuat bayinya nyaman, tapi setiap hari tetap saja terasa sulit.

Jeonghan mencoba menekan segala kekhawatirannya pagi ini, pikirannya tentang kantor, juga tentang Seungcheol. Beberapa kali ingatannya mencoba mengingat-ingat kenangannya tentang Seungcheol, bibirnya tak henti bicara pada si bayi sementara ia menyetir menuju kantor. Ia ingin mengingat hal-hal baik, berharap hal itu bisa memperbaiki perasaan dan pikiran buruknya.

"Baby, tahu tidak? Ayahmu dulu sering membacakan cerita sementara aku tidur berbantalkan pahanya. Dia akan bercerita selama lima belas menit sebelum akhirnya dia yang lebih dulu tertidur. Iya, benar, di ruang baca itu. Sebagian besar memang berisi koleksinya," tutur Jeonghan.

Mobil Jeonghan membelok pada tikungan terakhir sebelum kantor, bibirnya yang sedari tadi terus bermonolog pada bayinya kini tertutup rapat. Nyatanya walaupun ia sudah mencoba membuat distraksi, ketakutannya tetap berhasil mengendalikan pikirannya kembali. Di area parkir setelah mematikan mesin mobil, Jeonghann menghitung setiap tarikan napasnya. Sekali lagi mencoba metode lain agar ia tidak khawatir berlebih.

Jeonghan bercermin, mengatur raut wajahnya agar bisa biasa saja saat berpapasan dengan karyawan kantor yang barangkali menatapnya sinis, menghakimi atau apa pun itu. Ia juga berjaga-jaga apabila ada bisik-bisik yang mungkin saja ia dengar. Jeonghan kemudian mengusap perutnya dan menunduk. "Kita bisa melalui ini kan, Baby?"

Jeonghan mengambil napas panjang sekali lagi sebelum keluar dari mobil.

Begitu masuk ke kantor dan menaiki lift, Jeonghan berpapasan dengan beberapa karyawan yang menyapanya. Tangan Jeonghan sepertinya sudah sangat berkeringat takut mereka melirik, memperhatikan atau menanyakan tentang kehamilannya. Tapi mereka bersikap seperti biasa. Salah satu dari mereka menanyakan apakah ia sudah lebih sehat karena pulang mendadak saat makan malam perusahaan, sementara yang lain menyimak kemudian melanjutkan obrolan tentang pekerjaan. Semua orang bersikap normal, seperti hari biasa sebelum mereka tahu Jeonghan hamil.

Seharusnya Jeonghan bersyukur, tetapi hatinya tetap saja risau.

Di kubikelnya, Jeonghan duduk merenung. Ia melirik ruangan Jisoo, tapi sepertinya saudaranya itu belum datang. Ia melihat Mingyu keluar dari pantry dan segera dipanggilnya dengan melambaikan tangan.

"Kak Han mau kubuatkan teh?" tanya Mingyu saat tiba di sebelah Jeonghan.

Bukannya menjawab pertanyaan Mingyu, Jeonghan justru bertanya balik. "Kau lihat Jisoo?"

"Seingatku dia tidak ke kantor hari ini, ada rapat di luar."

"Benarkah?" Alih-alih ke Mingyu, kalimat itu ditujukan Jeonghan pada dirinya sendiri.

FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang