10. all the guts i had

661 67 4
                                    

Saat Jisoo datang, ia menemukan Jeonghan terlelap sementara Seungcheol nyaris tertidur di sebelahnya. Pria itu duduk di kursi sebelah ranjang, bersandar pada tembok sambil menahan kantuknya.

Jisoo berjalan mendekat dengan hati-hati, kemudian menyentuh bahu Seungcheol. Ia mengangkat telunjuknya ke bibir, isyarat agar pria itu tidak menimbulkan suara dan membuat Jeonghan terbangun. Tangannya menunjuk keluar, mengajak Seungcheol untuk mengobrol tanpa menganggu tidur Jeonghan.

Yang disampaikan Jisoo pada Seokmin di telepon tadi memang belum ada separuhnya untuk menjelaskan kejadian sebenarnya. Bagaimana Jeonghan terjatuh, bagaimana Jeonghan bisa pingsan, dan bagaimana hasil pemeriksaan, hanya Jisoo yang mendengar dan melihatnya saat itu. Ia merasa memiliki hutang penjelasan pada Seungcheol, dan bukan hanya tentang hari ini.

"Jeonghan jatuh di atas lengan kanannya," ucap Jisoo mengawali ceritanya, "karena aku hanya melihat dari jauh, aku hanya bisa melihat ia yang nyaris terhuyung ke depan sebelum jatuh ke samping sambil memeluk perutnya. Lengan bawah dan sikunya cedera karena terkena pinggiran tangga sebelum tubuhnya merosot ke bawah dan menggelinding. Ada lebam di paha atasnya, dan kepala belakangnya sedikit robek. Kau tak perlu khawatir, dia sudah ct scan dan kata dokter hasilnya baik, lukanya hanya perlu dilem tanpa jahitan."

Jisoo berhenti sejenak. "Meski ini semua membuatku merasa sinting, tapi aku bersyukur karena undakan tangga itu tidak setinggi undakan tangga pada umumnya."

Seungcheol bergeming, mencerna semua itu di kepalanya. Penjelasan Jisoo bagaikan tayangan yang bisa diputar di kepalanya, terlalu mudah dibayangkan hingga membuat seluruh tubuhnya terasa nyeri. Ia meyakinkan dirinya bahwa Jeonghan sudah selamat, Jeonghan akan baik-baik saja setelah ini, tapi rasa takutnya masih lebih besar mendominasi.

"Saat siuman, sebelum dipindahkan ke ruang rawat, dia menangis—setengah meraung kalau bisa kubilang. Aku sudah ketakutan setengah mati barangkali ia kesakitan, tapi kau tahu apa yang dia katakan?"

Seungcheol menggeleng.

"Bayinya. Dia hanya bertanya tentang bayinya. Dia seperti tidak peduli bahkan ketika melihat tangannya diperban dan kepalanya yang terasa nyeri."

Seungcheol berdiri dengan gusar, membuat Jisoo harus menengadah untuk melihat wajahnya. Mulut Seungcheol bergetar saat berkata, "Kenapa?"

"Aku tak tahu," jawab Jisoo yang sekarang menunduk, menutupi wajahnya karena air mata mulai merebak. "Seolah dia lebih memilih kehilangan hidupnya daripada harus kehilangan bayinya."

Kepingan puzzle yang disusun Seungcheol rasanya tak pernah memiliki pasangan yang tepat, sehingga gambarnya tak pernah berhasil tersusun dengan benar. Mengapa Jeonghan mati-matian mempertahankan bayinya sementara ia mendorong Seungcheol semakin jauh? Jeonghan yang seolah membencinya itu malah memilih bagian dirinya, darah daging Seungcheol, tumbuh di dalam rahimnya.

"Aku serius tentang ucapanku untuk menyelamatkannya dari apa pun itu. Aku sedih menyadari bahwa aku, sebagai saudaranya sendiri justru tidak tahu apa-apa, dan tidak tahu bagaimana harus menolongnya. Satu-satunya harapanku hanya kau, Cheol."

Seungcheol merasakan pikirannya semakin letih saat ia kembali ke kamar sesaat setelah Jisoo pulang. Dipandanginya paras Jeonghan yang masih dibuai alam mimpi. Tangan Seungcheol terjulur, menyentuh beberapa baret di wajah Jeonghan. Jempolnya kemudian mengelus pipi Jeonghan dengan lembut. Ia bertekad untuk tidak akan membiarkan Jeonghan sendirian lagi mulai sekarang. Tidak akan pernah, bagaimanapun caranya.

Yang Jeonghan ingat pertama kali saat membuka matanya adalah ia terjatuh. Dan tangannya yang berusaha melindungi perutnya sebelum kegelapan mengambil alihnya. Ia tersentak dan duduk secara tiba-tiba, membuat rasa sakit di sekujur tubuhnya menjalar kembali.

FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang