19. starting anew

498 47 0
                                    


Entah pukul berapa Jeonghan bangun ketika terik matahari sudah menerobos melalui gorden tipis di kamar Seungcheol. Ia bernapas lambat-lambat, mengumpulkan kesadarannya sambil memperhatikan Seungcheol yang masih bergelung dalam pelukannya.

Ia tidak ingat kapan pria ini tertidur semalam. Mungkin hampir dini hari, setelah isakan sesak yang lamat-lamat akhirnya mengantarkan mereka dalam tidur. Jeonghan meraba pipi Seungcheol, mengusap pelan wajah letih yang lelap itu dan berbisik lembut, lebih ditujukan juga pada bayinya. "Kita temani ayah ya, baby. Sampai kapan pun." Lalu ia kemudian bangkit perlahan, menyingkirkan tangan Seungcheol yang masih merengkuhnya dan berjalan diam-diam keluar agar pria itu tidak terbangun.

Rumah itu sunyi, dan jam di dinding menunjukkan pukul 1 siang. Jeonghan menemukan catatan yang ditempelkan Hansol di kulkas. "Aku keluar untuk belanja sebentar, Kak. Kalau ada yang ingin kau beli, kirim pesan saja. *PS: ada bagel di kulkas, kau bisa menghangatkannya untuk mengganjal perut." Jeonghan membuka kulkas dan menemukan 4 buah bagel yang masih terbungkus rapat. Ia mengeluarkan dua bagel, meletakkannya di piring dan memasukkannya dalam microwave. Sambil menunggu bagelnya hangat, ia menjerang air untuk membuat teh. Ia melihat setoples bubuk kopi di sebelah kotak teh dan menginginkannya. Rasanya ia ingin sekali menikmati kopi, tapi ia mencoba menahannya.

Jeonghan sudah menghabiskan satu bagelnya saat Seungcheol tersaruk-saruk memasuki dapur, masih mengantuk. Rambutnya mencuat ke mana-mana dan ia sepertinya sama sekali tidak menyadari itu. Jeonghan yang sedang duduk di depan konter membelakangi pintu dapur kemudian memutar arah duduknya menjadi menyamping. Ia menepuk-nepuk tangannya untuk menghilangkan sisa remah roti.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Jeonghan saat Seungcheol mengambil duduk di sampingnya.

Bibir Seungcheol membentuk garis tipis dan ia menghela napas pelan. "Lebih baik, kurasa."

Jeonghan menyelipkan tangan pada genggaman Seungcheol yang ada di atas meja. "Tak apa. Pelan-pelan saja."

Seungcheol memandang Jeonghan selama beberapa saat, memindai wajah khawatir sekaligus usahanya untuk menenangkan yang tergambar jelas di sana. Ia meremas pelan tangan Jeonghan. "Terima kasih."

Jeonghan menawarinya kopi dan bagel, tapi Seungcheol bilang ia bisa membuatnya sendiri. Jadi ia sekarang hanya memperhatikan Seungcheol yang sibuk membuat sarapan untuk dirinya sendiri. "Apa Hansol sudah lama pergi?" tanya Seungcheol, baru menyadari pesan yang ditempel adiknya di pintu kulkas.

"Entahlah. Dia sudah pergi ketika aku bangun."

Aroma kopi Seungcheol mengisi dapur, membuat Jeonghan menelan ludah. Ia cepat-cepat menghabiskan sisa bagelnya, lalu menghirup tehnya sendiri untuk menyingkirkan aroma kopi yang sedang sangat diinginkannya itu. Seharusnya memang tak apa, tapi Jeonghan tahu ia seringkali kelepasan kalau sudah sedikit saja minum.

Seungcheol sepertinya menyadari gerak-geriknya. Pria itu tersenyum, kemudian menganjurkan cangkirnya ke arah Jeonghan. "Tidak apa," katanya, "sedikit saja."

Jeonghan menggigit bibir, masih menimbang apakah ia yakin bisa mengendalikan diri. Tapi tangannya tetap meraih gelas Seungcheol, menghirupnya sebentar dan menyesapnya sedikit. Ada kelegaann yang ia rasakan saat kafein itu mengaliri tenggorokannya. Dan ia tersenyum malu-malu karena wajahnya yang seperti itu diamati Seungcheol lekat. "Terima kasih," ujarnya.

"Jeonghan?"

"Ya?"

"Bolehkah aku memelukmu?"

Semalaman mereka tidur saling memeluk. Meski begitu Jeonghan tetap turun dari kursinya dan mendekat. Ia menyandarkan kepalanya di dada Seungcheol sementara pria itu mengusap-usap perutnya.

FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang