13. talking to the wind

544 47 3
                                    


Lampu sudah dipadamkan. Badannya pun sudah segar setelah mandi begitu sampai di rumah tadi. Tapi Seungcheol yang sedang berbaring di ranjang tak dapat memejamkan mata barang sejenak pun. Ia tidak bisa tidur, padahal seperti yang dibilangnya pada Jeonghan, ia besok ada syuting pagi-pagi sekali.

Jam di nakas menunjukkan pukul 1 dini hari dan kepala Seungcheol masih terlalu berisik di antara kesunyian malam. Ia tiba-tiba mengangkat tangannya, memperhatikannya di antara remang. Ada cahaya redup yang terpantul dari lampu terasnya, masuk melalui jendela kamar yang hanya ditutupi gorden tipis.

Seungcheol masih tidak percaya tangannya baru saja menyentuh keajaiban. Keajaiban yang seumur-umur tak berani dibayangkannya apalagi dari seorang Yoon Jeonghan. Ia seperti masih bisa merasakan bagaimana bayinya, bayi mereka, bayi yang dikandung Jeonghan bergerak untuk pertama kali ketika ia menyentuhnya.

Tidak ada lagi kata yang bisa mewakili bagaimana rasa bersyukurnya. Ia berulangkali merapal doa dalam hati sejak tadi. Mengucap terima kasih tanpa henti kepada Tuhan, hingga kepada Jeonghan yang memilih mempertahankan bayi mereka alih-alih membuangnya karena rumitnya hubungan mereka.

Tidak pernah sekalipun Seungcheol berani berpikir bahwa hubungannya dengan Jeonghan akan berakhir menjadi seperti ini—terlepas segala penolakan dan jarak yang sempat tercipta kemarin. Ia mencintai Jeonghan, sejak dirinya hanyalah remaja puber yang terlambat menyatakan cinta. Ia masih mencintai Jeonghan, bahkan ketika pria itu memilih pria lain sebagai pasangannya. Ia semakin mencintai Jeonghan, meskipun pria itu kemudian kembali sebagai kaca nan rapuh setelah patah hati. Cinta itu semakin tumbuh, hari demi hari, tak pernah luntur bahkan sampai hari ini.

Seungcheol pernah mencoba menaruh hati pada orang lain. Tidak hanya sekali. Tapi arah kompasnya selalu tertuju pada Jeonghan. Pada laki-laki dengan tawa dan tingkah jahilnya, pada laki-laki yang memberinya penerimaan dan dukungan. Dan pada laki-laki yang pernah merasa tak memiliki siapapun, dan justru mengulurkan tangan padanya.

Seungcheol kini memiringkan tubuhnya, meringkuk seperti bayi. Ia yang mengaku mencintai Jeonghan itu, juga pernah gagal menjaga Jeonghan. Ia selalu menyesali keputusannya untuk tidak menyatakan perasaannya, hingga ia melihat Jeonghan disakiti pria lain tanpa tangannya sanggup mencegah dan membalasnya untuk Jeonghan.

Kesempatannya memiliki Jeonghan mungkin sudah berakhir hari itu. Tapi kesempatannya untuk menjaga dan berada di sisi Jeonghan tanpa membuatnya tersakiti justru baru dimulai. Dan Seungcheol bertekad karenanya.

Di malam Jeonghan menciumnya hari itu, Seungcheol sebenarnya tidak pernah berpikir mereka akan melakukannya sejauh itu. Sekalipun tak jarang hasratnya membisikkan rayuan-rayuan, tapi Seungcheol selalu bertahan.

Dan di antara semua ketakutan dan damba, Seungcheol pada akhirnya menyerah pada hasratnya. Ia menggumuli Jeonghan, bahkan berulangkali memasukkan benihnya pada pria itu tanpa bisa ditahannya. Sebab setiap kali kesadarannya ingin berhenti, Jeonghan membisikkan kata untuk terus melanjutkan. Cinta yang ditahan Seungcheol selama bertahun-tahun itu seolah berbalas, dengan cara sentuhan dan hasrat Jeonghan dalam pergumulan mereka.

Seungcheol juga tidak pernah berpikir bahwa esoknya ia akan didepak. Semua yang mereka lalukan semalaman hanya agar Jeonghan bisa mengirimkannya pada salam perpisahan. Lalu dalam hitungan minggu kembali dihantarkan dengan adanya bayi itu.

Kehidupan Seungcheol tiba-tiba berubah begitu cepat. Keputusan-keputusan yang harus dibuat, langkah-langkah yang harus dilakukannya. Di antara kebingungan, kemarahan, dan putus asa, memilih dibenci rasanya lebih baik daripada ia harus melihat Jeonghan menderita lebih lama. Apalagi akibat tangannya sendiri.

Seungcheol tak pernah tahu alasan mengapa Jeonghan memilih mempertahankan bayinya. Tapi di hari Jeonghan terjatuh, amarahnya sempat mencoba keluar. Ia sampai berpikir bahwa Jeonghan hanya sedang memberikannya harapan lagi, lalu meremukkannya kembali seperti pagi di mana ia dibuang.

FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang