18. above the clouds

642 50 2
                                    


Di lobi kantor Jeonghan sore itu, Seungcheol sudah duduk menunggu sejak lima menit yang lalu. Ia bahkan sudah sempat pulang dan mandi terlebih dahulu sebab setelah menjemput Jeonghan hari ini, ia akan segera ke rumah sakit.

Seungcheol sedang sibuk memeriksa pesan-pesan adiknya saat menyadari sudah ada dua pasang kaki berdiri di hadapannya. Ia tentu hafal kaki pria di sebelah kiri, bukan hanya dari ukuran kaki, tapi karena sneakers yang baru saja dibelikannya semalam karena Jeonghan ngotot ingin masuk kerja keesokan harinya padahal baru saja sakit. Ia memang memikirkan untuk membelikannya sejak lama, sebab Jeonghan pasti tidak nyaman—apalagi karena kehamilannya—dengan sepatu kantornya yang selalu ber-hak.

"Tapi aku tidak apa-apa dengan sepatuku. Kau berlebihan," ucap Jeonghan saat mengikuti Seungcheol yang masih memindai sepatu-sepatu di rak. Pria itu kini sibuk memilihkan mana yang paling nyaman karena Jeonghan masih menolak memilih.

"Kakimu butuh bernapas." Hanya itu yang dikatakan Seungcheol dan Jeonghan tahu itu benar dan ia berhenti membantah.

Seungcheol melihat sepatu putih dengan sedikit goresan cokelat di sampingnya dan langsung meminta Jeonghan duduk. Ia kemudian berlutut di lantai, membantu Jeonghan melepas sepatu, dan membantu memasangkannya. Ia sudah meminta dipilihkan ukuran yang sedikit lebih besar mengingat kaki Jeonghan yang pasti akan membengkak sekitar 4–6 minggu lagi.

"Terlalu besar?"

"Kurasa tidak," jawab Jeonghan.

Seungcheol tersenyum cerah. Dengan posisi berlututnya sekarang, wajahnya tepat berada di perut Jeonghan yang membuncit. Ia bahkan bisa melihat bagaimana samar-samar sang bayi yang mulai lincah bergerak di perut.

"Biar nyaman ya, Baby," ucap Seungcheol mengecup ringan perut itu. Ia kemudian mendongak, menunggu respon Jeonghan. Dan pria di depannya itu sibuk melirik sekitar, mencari shopkeeper yang tadi melayani dan menunggui mereka.

"Cheol," katanya. Menepuk pelan bahu Seungcheol karena malu. Jeonghan menemukan sang pramuniaga perempuan tadi sedang berdiri agak jauh dari mereka, menjaga privasi keduanya. Tapi tetap saja Jeonghan merasa malu sementara Seungcheol hanya terkekeh pelan di depannya.

Seungcheol tersenyum mengingat semalam hingga nyaris lupa menebak siapa kiranya yang berdiri di sebelah kanan. Mungkin hanya Jisoo, tapi ia ragu karena pria itu tak bersuara. Mengingat apa yang sudah dilakukannya pada Jeonghan sekitar seminggu yang lalu, ia setidaknya pasti akan mendengar dengusan atau helaan napas kasar meskipun Jisoo sudah mendapatkan penjelasan dari Jeonghan.

Saat Seungcheol mengangkat wajahnya, ia baru memahami kaki besar itu jelas bukan milik Jisoo. Mingyu ada di depannya, yang membuatnya lebih terkejut, laki-laki itu tersenyum lebar padanya.

"Kak Cheol!" ucap Mingyu senang.

Seungcheol bangkit, merasa canggung meski Mingyu jelas tidak tahu apa yang dipikirkannya waktu itu hingga membuat ia dan Jeonghan bertengkar. Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman, tapi Mingyu mengabaikannya dan langsung memeluknya.

"Ke mana saja kau selama ini? Gila! Sudah sebulan aku di sini, bertemu Kak Han setiap hari tapi kau entah ke mana. Kak Han menyembunyikanmu, ya?" Mingyu melirik Jeonghan yang hanya memutar bola mata, sementara ia semakin erat memeluk Seungcheol.

Semasa kuliah dulu, baginya bisa mengenal Jeonghan dan Seungcheol adalah segalanya. Meski Mingyu bisa dibilang gampang bergaul, tinggal di kota orang sendirian untuk pertama kali dalam hidupnya tetaplah cukup sulit. Tapi ia beruntung sejak bertemu Jeonghan, lalu dikenalkan juga pada Seungcheol. Dari bantuan-bantuan ringan keduanya, membantunya terbiasa dengan kehidupan di sini, juga seringnya mereka mengajak Mingyu bermain pada awalnya, membuat ia seperti bertemu sosok kakak sebab ia seorang anak tunggal yang mana segalanya dipaksa mandiri.

FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang