Seungcheol mungkin lupa bahwa mereka nyaris tidak pernah bertemu lagi sejak terakhir kali. Ia seharusnya menekan intercom dulu, atau mengirim pesan jika ia sudah sampai. Tapi akal sehatnya tertutup oleh isakan Jeonghan di telepon tadi. Ia tidak bisa berpikir jernih dan yang ia lakukan hanya menekan sandi apartemen Jeonghan; 0408, lalu masuk tanpa permisi.
Ruangan itu temaram. Cahaya yang masuk melalui jendela tak terlalu terang karena di luar sedang mendung. Tapi Seungcheol bisa melihat pria dengan helaian merah itu sedang duduk sembari memeluk lutut di atas sofa.
Terakhir kali mereka bertemu, Jeonghan hanya berwajah dingin dan marah. Tapi Jeonghan di depannya kini terlihat sangat berbeda, wajahnya pucat dan ada kantung besar di bawah matanya.
Jeonghan sepertinya tidak menyadari kedatangannya. Matanya seolah memandangi sesuatu yang jauh, dan Seungcheol tiba-tiba merasa takut melihat itu.
"Jeonghannie?"
Tidak ada sahutan. Seungcheol mengulanginya, "Hannie?"
Pupil mata itu bergerak pelan. Jeonghan menengadah untuk menatap Seungcheol yang berdiri di hadapannya. Bibirnya masih terkatup rapat, namun tangannya terulur untuk menyerahkan sesuatu pada Seungcheol.
Seungcheol sudah cukup dewasa untuk melihat benda apa yang diserahkan Jeonghan kepadanya. Tapi semua itu takkan pernah bisa menghilangkan keterkejutannya. Kini ia tahu, alasan sorot mata Jeonghan yang begitu kosong dan sendu. Belum sempat ia mendapatkan cara untuk memperbaiki hubungan mereka, Seungcheol kini justru semakin menghancurkannya.
Perasaannya seharusnya memberikan Jeonghan kebahagiaan, bukan penderitaan. Mungkin Jeonghan benar sejak awal, cinta Seungcheol hanyalah kesalahan.
Seungcheol bersimpuh di kaki Jeonghan, berjuta kata maaf yang diucapkannya takkan bisa mengembalikan semua seperti semula. Persetan orang menganggapnya cengeng! Ia menangis, dan Jeonghan juga mulai terisak di atasnya.
Lama keduanya tak mengatakan apa pun selain isakan yang seolah saling bersahutan. Hingga tangan Jeonghan menggapai kepala Seungcheol, mengelusnya dan membuat pria yang menangis tersebut mengangkat wajahnya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Seungcheol, apa lagi memang yang bisa dikatakannya?
Namun Jeonghan menggeleng. Ia meraih wajah Seungcheol dengan kedua tangannya.
"Kau akan menggugurkannya?" Hati Seungcheol teriris mengatakan itu. Tenggorokannya seolah menelan batu yang begitu besar sementara ia menunggu Jeonghan bicara.
Jeonghan memejamkan matanya, lalu menggeleng sekali lagi.
"Tolong, Han, izinkan aku memperbaikinya."
"Aku tidak bisa, Cheol. Mengertilah!" Hidung Jeonghan sudah pasti tersumbat karena suaranya nyaris tercekik. "Apa yang ingin kau perbaiki? Persahabatan kita? Lalu setelah itu apa, kau mengharapkan romantisme? Terlalu sulit bagiku menerima keadaan kita ... semuanya sudah berbeda sekarang, dan aku yakin aku tidak bisa menjalani hari-hari kita seperti dulu. Apalagi jika kita harus menikah."
Menerima fakta bahwa Jeonghan menolak perasaannya sudah cukup menyakitkan bagi Seungcheol. Tapi mendengar Jeonghan secara tersirat membencinya jauh lebih menyakitkan dari apa pun. Ia kemudian berdiri, pergi ke dapur untuk mengambil minum. Ia harus mendinginkan kepalanya terlebih dahulu.
Sebanyak apa pun Seungcheol memutar otak. Ia tidak pernah merasa sesulit ini menemukan titik temu. Berdebat dengan Jeonghan sejak dulu memang tidak pernah mudah, dan ia seringkali harus mengalah tanpa bisa menyanggah keputusannya.
Tapi kali ini harusnya berbeda, dan ia tidak ingin menyerah. Masalahnya, ini bukan lagi antara dirinya dengan Jeonghan. Ada satu nyawa lain yang akan bergantung masa depannya kepada mereka. Mereka bisa saja saling menjauh, menjaga jarak dalam kecanggungan yang luar biasa. Ini kesalahan mereka, tapi bukan bayi dalam kandungan Jeonghan.
Ia tidak bisa menerima keputusan Jeonghan begitu saja. Jeonghan selalu saja membuatnya mengalah dan pasrah secara sepihak. Tidakkah Jeonghan mengerti bahwa Seungcheol pun memiliki hati?
Saat Seungcheol kembali menghampiri Jeonghan di sofa, pria itu sedang meringkuk, menatap udara. "Kenapa kau berpikir aku akan meninggalkanmu hanya karena aku memiliki perasaan padamu?"
Seungcheol sebenarnya sudah tahu jawabannya, hanya saja ia ingin memastikannya sekali lagi. Ia kemudian memilih untuk kembali bersimpuh di lantai, menunggu. Tapi Jeonghan hanya diam, enggan menjawab.
Lama pria itu menutup mulut. Tubuhnya mungkin berada di depan Seungcheol, tapi tidak dengan pikirannya. Pemandangan di depannya mengingatkan Seungcheol pada hari itu, hari di mana seorang pria lain mematahkan hati Jeonghan. Seseorang pernah melucuti cahaya yang dimilikinya. Dan kini Seungcheol sepertinya telah melakukannya juga.
Seungcheol meringis dalam hati. Tangannya yang dulu mendekap erat tubuh mungil Jeonghan, memeluknya bagai kepompong melindungi ulat agar tidak gagal menjadi kupu-kupu. Kini justru bagai tangan-tangan pemintal yang memisahkan benang dari tubuh sang ulat. Membiarkannya menggigil tanpa sempat lagi bermimpi menjadi kupu-kupu.
Dalam hatinya, Seungcheol pernah berjanji akan membahagiakan Jeonghan seumur hidupnya. Takkan pernah membiarkan siapa pun membuat Jeonghan tersakiti seperti itu lagi. Tapi kini justru dirinyalah penyebab itu semua.
"Kau sudah selesai?" kata Jeonghan tiba-tiba.
Seungcheol tidak tahu 'selesai' apa yang dimaksud oleh Jeonghan. Jika yang dimaksud adalah kemelut atau benang kusut di dalam kepalanya; maka ia sama sekali belum selesai, barangkali tidak akan pernah selesai. Jadi ia memilih diam beberapa waktu sembari menghirup napas dalam.
"Cheol, kau tahu aku tidak menyalahkanmu." Ditatapnya helaian pirang milik Seungcheol.
"Aku tahu," jawab Seungcheol lemah.
"Lalu, apa lagi yang—"
"Tidak bisakah kita mencari solusi lain?" Kali ini, Seungcheol mengangkat kepalanya, matanya bersirobok dengan mata Jeonghan.
Jeonghan mengalihkan pandangannya dengan emosi yang mulai sedikit tersulut. "Kau masih berpikir untuk membuangnya!"
Seungcheol tersentak. "Apa maksudmu? Aku tidak pernah sekali pun berpikir seperti itu!" Napasnya terengah, menahan amarah yang juga ingin menguasainya. "Aku memang brengsek karena melakukan ini padamu. Tapi kau tahu, kita sama-sama tahu, aku tidak seperti dia yang meghancurkan hidupmu di masa lalu itu—walaupun sekarang aku mungkin justru menghancurkanmu seperti bom atom."
"Berhentilah membandingkan dirimu dengannya, kalian tidak sama!"
"Kau yang membuatku berpikir seperti itu!"
"Kita berdua sama-sama brengsek!"
Ia beranikan tangannya menyentuh kedua tangan Jeonghan yang hendak menutup wajah. Seungcheol genggam tangan kecil itu, sementara tangannya yang lain mengusap lelehan air mata yang hendak terjatuh di sudut mata Jeonghan.
"Aku akan mempertahankannya," kata Jeonghan. "Tapi tidak dengan menikahimu." Dilepaskannya tangan Seungcheol yang genggamannya mulai mengendur dari tangannya. "Pulanglah."
"Aku akan kembali besok," katanya. Namun Jeonghan lagi-lagi menolak untuk menjawab. Ia membalikkan tubuh, membelakangi Seungcheol. Tangannya membekap mulut, meredam tangis yang akan kembali datang.
Mungkin Seungcheol harus mengalah hari ini. memaksakan diri berdebat dengan Jeonghan sekarang takkan mampu menghasilkan apa-apa. Saat Jeonghan mengusirnya pergi sekali lagi, ia beringsut dengan berat hati. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu, ia menoleh, mencoba menawar sekali lagi dan jawaban yang didapatkannya masih sama.
Tapi Seungcheol berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan mencoba lagi esok, dan esoknya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower
FanfictionBagaimana mungkin dua orang yang selalu bersama tak pernah sekali pun memiliki perasaan satu sama lain? "I feel like, I'm waiting for something that isn't going to happen." a Jeongcheol alternative universe ‼️bxb, mpreg, angst, implicit mature conte...