20. before the storm

431 44 0
                                    


Segala kesedihan itu belum hilang sepenuhnya, atau mungkin akan tetap melekat dalam dirinya sampai kapan pun. Tapi ada banyak hal dalam hidup Seungcheol yang harus dihadapi dan ditata kembali, salah satunya hubungannya dengan Jeonghan. Seungcheol akui ia mungkin tidak akan bisa berdiri seperti sekarang tanpa Jeonghan dan adiknya yang setia mendampingi - ditambah satu lagi yang akan segera hadir. Pulih yang ia sangka mungkin takkan pernah hadir, kini ia percaya akan datang. Ia merasa hatinya pun berangsur membaik.

Jeonghan mendaftar kelas prenatal sejak awal bulan ini—mengikutsertakannya, dan sudah hampir satu bulan Seungcheol tak pernah absen menemani. Hal-hal yang sempat ia lewatkan, segala pemeriksaan rutin yang dulu tak pernah bisa ia bayangkan, kini bisa Seungcheol hadiri sendiri. Ia selalu terharu tiap kali mendengar dan melihat bayi itu terus tumbuh dalam perut Jeonghan. Bagaimana ia melihat bayinya bergerak di dalam monitor. Bagaimana ia akhirnya bisa secara rutin mendengar detak jantung bayinya secara langsung.

Meski begitu, terkadang Seungcheol berpikir jika Jeonghan bersikap demikian lunak karena kasihan padanya. Tapi ia mencoba mengenyahkan segala pikiran tak penting itu. Bukankah sekarang yang lebih penting adalah keduanya baik-baik saja? Membuat simpul yang saling terkait demi sesuatu yang lebih penting dalam kehidupan mereka.

Mengesampingkan ego, mengesampingkan banyak sekali pikiran negatif yang masih terus datang menghampiri. Mereka menyadari kehamilan Jeonghan sudah bertambah besar, dan keduanya berusaha kooperatif dalam menangani hal ini. Sebab mereka selalu tahu; mereka memang lebih berhasil ketika bersama-sama.

Clapper board yang menandai proses syuting telah selesai baru saja diketuk saat Seungcheol merasakan ponsel di sakunya bergetar. Ia beranjak dari tempatnya, melambai pada para kru—menjauh dari lokasi—untuk menjawab telepon. Senyum Seungcheol mengembang begitu menyadari nama siapa yang terlihat di layar ponselnya.

"Aku baru selesai, kau mau dijemput sekarang?"

"Entahlah. Syuting hari ini sepertinya akan lebih lama dari perkiraanku," jawab Jeonghan, tak sengaja menghela napas begitu keras hingga terdengar jelas di telinga Seungcheol.

"Kau baik-baik saja?"

Sudah seminggu ini, produksi film pendek yang sudah ditunggu-tunggu Jeonghan berlangsung. Meski sedikit kepayahan dengan perut besarnya, Jeonghan sebisa mungkin tidak ingin absen barang sehari pun. Ia berusaha menjaga ekspresi dan tubuhnya agar tetap dalam kondisi fit agar Seungcheol berhenti cerewet dan mulai mendebatnya agar mengambil cuti hamil lebih awal.

Oh, Seungcheol pasti akan bersungut-sungut kesal kalau tahu ia berencana cuti seminggu sebelum HPL-nya.

Jeonghan mendesah pelan. "Cheol, jangan mulai."

"Apa? Aku hanya menanyakan keadaan kalian."

"Cheol ..."

"Oke, oke. Aku ke sana sekitar setengah jam lagi. Mau dibawakan sesuatu?"

"Bawakan bantal punggungku? Tertinggal di rumah."

Kini giliran Seungcheol yang mendesah pelan. Karena syutingnya mulai lebih pagi, hari ini ia mau tidak mau membiarkan Jeonghan pergi bersama Jisoo. "Jeonghan ..."

"Oh, ayah baik sekali tidak pernah marah. Terima kasih, Ayah. Itu kata baby."

Seungcheol kalah. 100% kalah telak. "Baiklah. Baby, mau makan sesuatu?"

"Kurasa tidak. Oh, kita jadi makan malam dengan Mingyu? Dia sudah berseloroh sepanjang hari, membuatku sakit kepala."

"Kau ikut?"

FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang