11. a silly morning

661 57 2
                                    


Sudah lama Jeonghan tidak mencium aroma bacon dan omelette di apartemennya. Bau itu samar-samar bercampur dengan wangi kopi, barangkali seseorang juga sedang sibuk memanggang roti, sebagai pelengkap untuk sarapannya pagi ini.

Jeonghan tidak ingin beranjak dan malah menyamankan diri di kasur. Berpikir Seungcheol akan mengantarkan sarapan paginya ke kamar seperti biasa. Ia tahu Seungcheol memang tidak jago memasak—dan seringkali mengacaukan masakan yang ia buat. Tapi omelette dan sarapan sederhana yang dibuat Seungcheol selalu membuat Jeonghan terbangun dengan perut kelaparan.

Jeonghan menggeliat pelan, merenggangkan tangan kirinya ke atas sementara tangan kanannya terasa nyeri ketika diangkat. Matanya lalu terbuka dalam sekejap, menyadari bahwa ini bukan hari biasa. Bukan hari yang lumrah ia jalani di masa sebelum ini.

Terbuai oleh tidur nyenyak yang lama tak ia dapatkan. Jeonghan mungkin lupa bahwa ia sedang hamil, ia baru jatuh beberapa hari lalu dan dirawat di rumah sakit. Ia juga lupa bahwa sudah nyaris empat bulan ia sedang dalam mode perang dingin dari pria yang mungkin sedang membuat sarapan di dapurnya sekarang.

"Oh, tidak," pekiknya. Memori tadi malam terputar kembali di ingatannya.

Dalam dekapan hangat itu, Jeonghan tersedu. Ia menangis seperti sudah lama sekali ia menunggu waktu untuk melepaskan semua beban yang selama ini ditanggungnya. Kepalanya bersandar pada dada bidang itu, mendengarkan detak jantung dan napas teratur si pemeluk, sementara punggungnya diusap pelan.

"Tidur, ya, Han?" Si pemeluk bersuara. Tapi Jeonghan malah mengeratkan pelukannya sambil menggeleng.

"Jangan."

"Kau baru saja pulang dari rumah sakit. Tidur, ya? Istirahat."

Jeonghan masih menolak berdiri hingga satu tangan Seungcheol menyelinap ke bawah lututnya, sementara tangan satunya menahan punggungnya dengan mantap. Dalam sekali angkat, ia sudah berada dalam gendongan Seungcheol. Tangan Jeonghan beralih untuk berpegangan pada leher Seungcheol sementara kepalanya makin ia benamkan di dada bidang itu. Mereka kemudian berpindah dari dapur ke kamar Jeonghan.

Jeonghan mengingat itu dengan sangat jelas. Ia kini membekap mulut dengan satu tangan, menahan jeritannya karena malu. Sungguh, benarkah ia tidur dalam dekapan Seungcheol semalam? Setelah semua pelarian itu? Setelah semua kata-kata dan penolakan yang ia berikan?

Bagaimana ia akan bersikap setelah semua yang terjadi semalam? Jeonghan rasanya ingin bersembunyi sekarang juga. Atau ia pura-pura tidur saja sampai Seungcheol barangkali pergi ke kantor.

Jeonghan kemudian merapikan selimut di atas tubuhnya dan kembali memejamkan mata. Pura-pura tidurnya bisa saja sempurna kalau kandung kemihnya pada pagi hari tidak dipenuhi urine yang menuntut untuk segera dikeluarkan. Ia ingin buang air kecil, sekarang juga, tidak tertahan lagi.

Hal kedua yang membuat upayanya menghindari Seungcheol gagal adalah, kamar mandinya ada di luar kamar tidur. Jeonghan takkan mungkin bisa pergi ke kamar mandi tanpa tertangkap mata Seungcheol yang berada di dapur.

Jeonghan menggigit bibir. Ia sudah tidak tahan lagi, jadi ia menyibak selimut dan berjalan ke pintu. Ia cukup berhasil membuka pintu kamarnya tanpa menimbulkan suara. Hanya tinggal tiga langkah saja untuk sampai di kamar mandi yang berada tepat di depannya, ketika rasa ingin buang air kecilnya sudah semakin tak tertahankan, jadi ia menekan kenop pintu dengan keras.

Belum sempat ia masuk ke kamar mandi, ia mendengar langkah kaki yang terburu-buru, berlari ke arahnya.

"Jeonghan?"

Jeonghan menyelinap masuk bagai dipergoki telah berbuat salah. Ia menutup pintu dengan keras dan mendesah, keterkejutannya barusan kini menimbulkan masalah lain.

FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang