2. Tanggung Jawab!

90 3 0
                                    

Hafika mengayuh sepedanya dengan santai. Gadis dengan rambut digerai dan sepanjang pinggang itu melewati jalanan yang sedikit ramai karena masih jam 8 malam. Kali ini dia mengantar laundry-an ke tempat langganannya, lalu pekerjaan di hari ini akan selesai. Oleh karena itu Hafika bersemangat.

Gadis bernama lengkap Hafika Xaquila itu turun dari sepeda dan menatap gerbang di depannya. Sudah berkali-kali datang, tetapi Hafika masih saja kagum dengan istana di depannya. Tak ayal benaknya menginginkan rumah seperti di depannya sekarang.

Membuka gerbang dengan perlahan lalu Hafika membawa bungkusan pakaian ke dalam. Dia mengedarkan pandangan sejenak, lantas menuju ke depan pintu. Hafika memencet bel yang ada di samping kosen pintu. Lumayan lama dirinya menunggu sampai pintu terbuka dan terlihatlah sosok pria jangkung dengan tubuh tegapnya.

Hafika sedikit mengerutkan kening karena heran, tetapi dirinya tetap menampilkan senyum. "Malam, Kak. Maaf, saya baru bisa mengantarkan laundry sekarang."

Tatapan Hafika menjadi khawatir karena pria di depannya memegang kepala seperti sedang pusing.

"Kak? Kakak kenapa?" tanya Hafika, menatap khawatir pria di depannya yang terlihat tidak baik-baik saja.

"G-gue—"

Ucapan Cakra terpotong karena tubuhnya tak seimbang sampai menabrak tubuh Hafika yang lebih pendek darinya. Seketika Cakra bisa menghirup aroma tubuh gadis itu dan juga aroma rambutnya.

Sementara tubuh mungil yang menjadi penopang tubuh tegap Cakra itu terasa menegang. Dia terkejut karena Cakra yang tiba-tiba saja nyaris terjatuh. Ditambah lagi napas Cakra yang memburu dan panas itu menerpa kulit lehernya.

Berkali-kali Cakra menelan salivanya karena terasa sulit. Dia memegang lengan gadis tersebut. "B-bantu gue," pinta Cakra dengan mata yang terpejam dan posisi masih ada di lekuk leher Hafika.

"Bantu apa, Kak?" tanya sang gadis.

Tanpa menjawab, Cakra langsung menarik Hafika masuk ke dalam. Sedangan gadis itu menurut saja karena yakin jika Cakra memang membutuhkan bantuan yang darurat. Namun, siapa sangka jika Cakra malah membawanya ke kamar. Jantungnya langsung berdetak tak karuan.

"Kak! Kita mau apa?!" tanya Hafika tersebut setelah dia masuk ke kamar bersama Cakra. Mendadak dia menjadi panik karena situasi sekarang.

"Bantu gue." Suara serak Cakra kembali terdengar, dia mendorong Hafika ke kasur.

***

Winda tersenyum menatap hasil masakannya yang sudah tertata rapi di meja makan. Pagi ini dia dengan semangat menyiapkan sarapan untuk putranya, sebagai permintaan maaf karena semalam dirinya tidak pulang. Kemudian wanita berusia 42 tahun itu naik ke lantai dua, tempat di mana kamar anaknya berada.

Sampai di depan pintu kamar sang anak, Winda mengetuk terlebih dahulu. Namun, wanita itu tak mendapat jawaban. Akhirnya Winda memutar kenop pintu, membuka ruangan tersebut.

Betapa terkejutnya ibu satu anak itu melihat pemandangan di dalam kamar anaknya. Mendapati seorang perempuan sedang meringkuk, menyembunyikan wajahnya di antara lekukan lengan. Perempuan itu bersandar di nakas samping tempat tidur putranya.

Lalu, tatapannya jatuh pada sosok anaknya yang masih asyik dengan dunia mimpi. Tidur nyenyak ditemani selimut. "Cakra!" teriak Winda sudah tak tertahankan lagi. Dirinya segera melangkah mendekat ke kasur sang anak.

"Bangun kamu!" bentak Winda.

Mendengar suara keras bundanya, Cakra menggeliat pelan. Dirinya bergumam tak jelas sebelum membuka mata. "Kenapa, Bun?" tanyanya dengan mata yang terbuka sedikit.

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang