11. "Saya yang tanggung."

45 0 0
                                    

Fika menatap kosong langit-langit berwarna putih itu. Kepalanya masih berdenyut pusing, mualnya mulai terasa lagi dan dia berusaha menahannya. Ucapan dokter tadi masih terngiang di benaknya. "Selamat ya, berdasarkan pemeriksaan Fika sedang mengandung dengan usia kehamilan tiga minggu. Supaya saya mudah memantau, Fika lebih baik rawat inap sekitar dua hari."

Fika ingin marah, menangis, dan mengamuk rasanya. Namun, tidak bisa ia lakukan. Di balik emosinya, rasa lelahnya lebih besar jadi dia tidak sanggup meluapkan emosinya. Ingin menangis lagi saja dia tidak kuat. "Fika."

Pemilik nama menoleh, Winda baru saja masuk setelah tadi mengurus administrasi. Sementara di samping brankarnya ada Cakra yang dari tadi sebenarnya menemaninya, tetapi dua-duanya tidak bersuara. "Tante, lebih baik saya pulang aja," ucap Fika begitu Winda mendekat ke brankar.

"Gak bisa, Fika. Kamu masih perlu perawatan. Gak perlu khawatir soal biaya, Cakra udah menanggung semuanya. Pokoknya apapun yang kamu butuhkan, mulai sekarang adalah tanggungan Cakra," balas Winda sambil mengusap kening Fika.

"Tapi saya khawatir sama pekerjaan, Tante," lirih Fika.

"Saya masih punya banyak rencana, apalagi niat saya tahun depan kuliah," lanjut Fika.

Tatapan Winda menjadi sendu, semakin merasakan apa yang Fika rasakan. Jika saja ini tidak terjadi, Winda tidak akan melihat raut kesedihan dari wajah ayu Fika. Winda menggenggam tangan Fika yang terbebas dari infus. Dia ingin membuka mulut untuk berbicara, tetapi Cakra sudah mendahului. "Saya gak akan menghalangi kamu untuk kuliah. Yang penting lahirkan anak saya dengan selamat. Masalah biaya kuliah dan lainnya biar saya yang tanggung."

Winda dan Fika sontak menatap pria itu. Winda sedikit terkejut dengan Cakra yang terdengar yakin sekali. Ternyata Cakra bisa terlihat yakin, walaupun beberapa kali sempat ragu.

"Iya, Fika. Biarin Cakra memanfaatkan uangnya dengan benar kali ini. Kamu gak perlu mikirin banyak-banyak ya?" ujar Winda setuju dengan rencana Cakra.

Fika diam, dirinya hanya mengangguk untuk menjawab. Winda pun tersenyum tipis, puas dengan jawaban Fika yang tak lagi membantah atau mengkhawatirkan sesuatu. Setelah ini dia berjanji akan memberikan kenyamanan untuk Fika. Dia tidak mau Fika bernasib sama sepertinya. Begitu pun dengan Cakra, dia tidak ingin calon anaknya nanti merasakan hal sama seperti saat dirinya masih kecil.

17 tahun yang lalu....

Cakra kecil berjalan di samping sang bunda, keringat terasa menetes di punggungnya. Dia mendongak, wajah lelah bundanya tampak jelas ia lihat. "Bunda," panggilnya dengan suara yang lucu.

"Hm? Gimana, Sayang?" balas Winda.

"Kapan kita pulang?" tanya Cakra, dia sudah merasa lelah. Bundanya juga terlihat lelah, tetapi tak ada niat untuk pulang. Dari tadi keduanya berjalan di sekitar perumahan, menawarkan dagangan kue-kue buatan bundanya.

"Nanti ya, Nak? Jualan bunda belum habis."

Terlihat Cakra kecil menghela napas, dia sudah lelah. Lantas, Winda berhenti melangkah, dirinya mengambil posisi jongkok agar tingginya setara dengan Cakra. "Sebentar lagi ya? Cakra kuat kan? Nanti setelah bunda dapat uang, Cakra boleh beli es krim, oke?" ujar Winda bernegosiasi dengan sang anak supaya mau berjuang lagi.

Sebetulnya dirinya juga lelah, tetapi jika tak berjualan, mau dapat dari mana uang untuk makan. "Iya, Bunda," jawab Cakra dengan patuh.

Beginilah keseharian Cakra. Menemani sang bunda berjualan. Menyaksikan buliran keringat Winda menetes di bawah teriknya matahari. Menyaksikan tubuh Winda menggigil diselimuti oleh dinginnya hujan. Meski begitu, Cakra tak pernah mendengar keluhan Winda. Padahal Cakra kecil yakin sekali jika Winda sudah lelah.

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang