7. Menjemput Fika

23 1 0
                                    

Berkali-kali Cakra hanya mengetik dan menghapus script codingan-nya. Pria itu benar-benar tidak fokus menjalankan pemrograman yang setiap hari ia lakukan. Lantas Cakra memilih untuk melepas kacamatanya dan bersandar di kursi. Menatap ke arah jam dinding, masih siang tetapi perasaannya kacau.

Cakra selalu memikirkan kesalahannya. Kejadian yang sangat tidak diinginkan. Dia menghela napas sebentar lalu memejamkan mata.

Sementara Andra yang dari tadi mengurus dokumen perusahaan Cakra menatap sahabatnya itu dengan iba. Dia paham dengan pikiran Cakra yang rumit. Kalau saja gadis yang tidur dengan Cakra adalah wanita seumuran, mungkin tidak akan sebimbang ini.

"Gue harus gimana?" lirih Cakra yang memejamkan mata, masih mampu didengar oleh Andra.

"Semalem nyokap maksa gue nikahin Fika. Sedangkan gue maunya nikah kalau dia hamil karena bagi gue, pernikahan itu sakral dan harus atas dasar cinta," lanjut Cakra sedang meluapkan keresahannya pada Andra.

"Ya gak ada yang salah sih, Cak. Tante Winda memberikan pendapat sebagai perempuan dan lo memberikan pendapat sebagai laki-laki."

"Tapi yang menentukan di sini itu Fika, ya kan? Jadi mungkin harus dibahas bertiga?"

Cakra pun mengangguk membenarkan ucapan sahabatnya itu. "Makanya nanti gue disuruh bunda buat undang Fika makan malem. Tapi gue takutnya kalau Fika ngajak nikah," tutur Cakra seraya membenarkan posisi duduknya. Dia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.

Kening Andra mengerut bingung. "Takut gimana? Lo belum siap?"

"Hm. Nikah gak bisa sembarangan gitu aja. Masa juga gue nikah sama orang yang gak gue cinta? Bahkan gue gak kenal dia gimana."

"Apa yang salah? Kan yang penting cowok cewek," balas Andra.

"Gue kira lo gak mikirin soal cinta, Cak," lanjut pria itu.

"Gue gak mungkin paksa dia, Ndra. Pasti dia juga mau lanjutin cita-citanya," ucap Cakra.

"Dari awal, pertemuan kalian udah salah sih," balas Andra sedikit meringis tak enak. Bukan bermaksud untuk menyalahkan keadaan, tetapi memang sudah salah dari awal. Bukan salah Fika atau Cakra, tetapi salah Sinta si pelaku yang memberikan obat ke minuman Cakra.

Cakra menghela napas sejenak. Tak menanggapi pernyataan Andra karena memang benar adanya. Kedua netra Cakra melirik jam digital yang berada di meja kerjanya. Sadar jika sudah hampir malam, Cakra beranjak dari duduknya. "Mau ke mana? Kerjaan udah selesai?" tanya Andra heran.

"Gue mau jemput Fika, sesuai arahan nyokap," jawab Cakra.

"Lah? Cak, ntar ada pertemuan sama klien di kafe buat bahas evaluasi webnya kan?" ujar Andra mengingatkan yang sontak saja membuat Cakra berdecak kesal.

"Gue lupa."

"Terus?"

"Lo dateng aja ya sama Fino, gue izin. Soalnya gue udah janji sama nyokap," tutur Cakra seraya memakai jaket jeans miliknya.

Andra menghela napas, menahan kekesalannya. "Yaelah, Cak, pertemuannya kan direncanain 5 hari yang lalu. Lo janji sama nyokap kapan?"

"Bukan masalah kapannya. Tapi masalah siapanya. Yang paling penting ya nyokap gue," jawab Cakra terdengar tegas.

"Iya deh. Fika penting juga berarti ya?"

Kedua bola mata Cakra berputar, malas sekali. "Terserah lo. Gue pergi!" pamitnya sebelum meninggalkan ruang kerjanya di kantor.

***

Cakra turun dari motornya setelah sampai di depan laundry tempat Fika bekerja. Kakinya melangkah mendekat ke dalam laundry, lantas bertemu dengan seorang wanita muda. "Selamat sore, Kak. Mau ambil laundryan atau antar laundry?" tanya Gladis menyambut Cakra dengan senyuman.

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang