5. Murahan

42 1 0
                                    

"Tante minta maaf ya tadi udah lancang bilang kalau Tante ibu kamu."

Fika yang tadinya memperhatikan sekitar jalan dari jendela mobil, menjadi menoleh ke arah Winda. Menyunggingkan senyum sebelum menjawab, "gak apa-apa, Tante. Saya gak mempermasalahkan kok. Cuma kaget sedikit."

"Sebenarnya tante pengen banget loh deket sama kamu, tapi tante takut bikin kamu gak nyaman," ujar Winda masih fokus pada jalan di depannya karena dirinya sedang mengemudikan mobil.

Ya ucapan Winda yang mengajak Fika untuk pulang bukan sekedar ucapan, wanita itu benar-benar mengajak Fika untuk pulang bersama, bersedia untuk mengantar. Meskipun sudah malam, Winda tetap kukuh mengantar Fika, padahal sudah ada penolakan juga dari wanita muda itu.

Fika belum menjawab ucapan Winda. Dia masih berperang dengan pikirannya sembari tangannya saling bertaut. Keadaan menjadi hening, Winda juga tak ingin memaksa Fika apalagi pertemuan mereka terjadi dengan cara yang salah.

Begitu berhenti di depan pagar hitam tempat koa Fika, Winda tersenyum tipis. "Terima kasih ya, Tante udah mau anter Fika. Tante mau mampir dulu?" tawar Fika seraya membenarkan posisi tas selempangnya.

"Em, lain waktu aja ya, Nak. Ini juga udah malam, saatnya kamu buat istirahat."

Fika mengangguk sambil tersenyum simpul. "Saya nyaman kok sama tante. Tante gak perlu khawatir, justru harusnya saya yang canggung karena berinteraksi dengan tante yang sangat beda jauh dengan saya."

Tangan Winda berpindah menggenggam tangan Fika yang ada di atas pahanya. Wanita 40 tahun itu menaikkan kedua sudut bibirnya. "Hei, kita ini sama, Nak. Sama-sama manusia ciptaan Tuhan. Tidak ada perbedaan, jadi gak boleh canggung ya? Hubungi tante kalau ada apa-apa, oke?" ucap Winda.

"Iya, Tante. Sekali lagi terima kasih."

"Heem. Sana masuk! Terus istirahat ya! Jangan memaksakan diri seperti mesin."

"Iya, Tante. Tante juga hati-hati."

"Siap, Komandan!"
Fika dan Winda sontak tertawa. Jantung Fika berdebar merasakan atmosfer di sekitarnya. Dia tidak pernah merasakan perasaan nyaman seperti sekarang. Apalagi sekarang dia sudah jarang ke panti lagi karena sibuk bekerja dan bekerja. Fika jadi merindukan ibu panti dan adik-adiknya.

***

Di tempat berbeda dengan waktu yang sama. Cakra menenggak segelas minumannya hingga tandas. Andra sendiri sampai menggeleng heran dengan sikap Cakra hari ini. "Udah, Cak, jangan kebanyakan minum. Terakhir lo minum, bisa ambil keperawanan gadis muda," peringat Andra, menarik sebotol minuman dari hadapan Cakra.

Kedua sahabat sejak lama itu bertemu di area balap. Sebenarnya Cakra yang mengundang Andra untuk datang, entah kenapa pria itu ingin berada di situasi yang pernah ditawarkan Andra kala itu. Ramai dengan bising motor dan ocehan penonton yang melihat balapan.

"Itu karena j*lang temen lo," balas Cakra dengan mendesis. Dia merebut kembali botol tersebut dan menuangkannya ke gelas lagi.

"Eh iya, Cak. Setelah kejadian itu dia gak ke sini lagi. Lo apain?" tanya Andra.

Cakra menenggak minumannya sebelum membalas, "dia gak akan semudah itu berurusan sama gue."

Cakra menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap langit-langit malam dan pikirannya kembali pada masa itu. Masa ketika dia menemui Sinta, sebagai pelaku yang membuatnya harus berada dalam situasi seperti di penjara.

Dua hari yang lalu ....
Setelah mendapati kehadiran Fika di kamarnya, Cakra berniat ingin membalaskan dendamnya pada Sinta, perempuan yang ia curigai sudah menaruh obat ke minumannya.

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang