6. Atas Dasar Cinta

39 1 0
                                    

Tidak ada hari tanpa bekerja. Selain sebagai pekerja laundry, Fika mempunyai kerja sampingan sebagai desain grafis. Dia menerima pesanan desain stiker, undangan, logo dan lain sebagainya. Ini Fika lakukan demi menyambung hidupnya, untuk membayar kos, biaya makan, dan tabungan kuliah.

Sudah dari kelas 2 SMA dirinya mempunyai pekerjaan lepas. Menawarkan berbagai desain ke sosial media. Dia melakukannya jelas tidak sendiri, ada Panji—teman semasa SMA—sebagai partnernya. Sekarang di sebuah kafe Angin Senja, Fika sedang mengobrol dengan Panji, membahas salah satu tugasnya yang Panji dapatkan dari teman kenalannya.

"Jadi kakak tingkat gue ini mau ulang tahun, Fik. Nah kesempatan aja kan gue tawarin jasa lo dan dia minat. Katanya dia pengen bikin undangan ulang tahun. Lumayan," jelas Panji terdengar begitu semangat karena sudah mendapatkan klien untuk Fika. Senyum Panji yang memperlihatkan lesung pipi di pipi kanannya itu menular pada Fika.

"Makasih banget, Nji lo udah mau bantuin gue," ujar Fika dengan tulus. Selama Fika menjadi pekerja lepas, Panji yang selalu memberinya semangat, membantunya mencari ide, termasuk mencarikan konsumen seperti sekarang.

Panji menyeruput es cokelatnya terlebih dahulu, lalu membalas, "yaelah kayak sama siapa aja, Fik. Gue selalu siap membantu lo kok."

"Ini mau dikasih contoh jadinya dulu?" tanya Fika kembali membahas pekerjaannya.

"Iya. Jadi lo bisa kan bikin desainnya pake konsep romantis gitu? Nanti lo bikin beberapa terus lo kirim aja ke gue soft file nya, nanti gue kirim ke kating," balas Panji.

"Oke-oke." Fika hendak bersiap mengeluarkan ponselnya untuk mengerjakan desainnya. Namun, Panji segera menyodorkan laptop ke hadapannya membuat Fika sedikit terkejut.

"Pake laptop gue aja, biar lebih enak."

"Tapi—"

"Tenang aja, Fika. Anggap aja laptop sendiri," potong Panji mengerti dengan keresahan Fika.

"Thanks ya."

Panji tersenyum. Memperhatikan Fika yang mulai fokus pada pekerjaannya, Panji juga sesekali membantu memberikan pendapat menurut sudut pandangnya. "Fik, gue perhatiin lo kayak kurang tidur," lontar Panji memperhatikan wajah lelah dari Fika di sampingnya.

"Hah? Emang iya ya?"

"Kok malah tanya balik sih. Lo lagi banyak pikiran?" jawab Panji, semakin menatap serius Fika.

"Enggak." Bohong sekali, nyatanya akhir-akhir ini Fika tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian saat malam dia bersama Cakra saat itu. Fika benar-benar takut jika dirinya hamil nanti.

"Serius?" Fika mengangguk untuk menjawab keraguan Panji.

"Kalau ada masalah, cerita aja ke gue. Gue akan mendengarkan dengan baik," ujar Panji terlihat serius dengan ucapannya.

"Iya, Panji."

Panji mengangguk. Berusaha memahami situasi yang dijalani Fika. Sebagai seorang teman organisasi sekaligus teman semasa sekolah dulu, Panji sudah mengetahui kondisi Fika. Harus bekerja keras sendiri, tinggal sendiri, intinya memperjuangkan kehidupannya sendiri.

Pria mana yang tidak jatuh hati dengan sosok perempuan mandiri seperti Fika? Panji saja dibuat jatuh hati, tetapi pria itu belum berani mengakui. Jadi lebih baik Panji mendekat tanpa memberi isyarat bahwa dirinya memendam sebuah rasa.

"Udah jadi empat desain nih, gimana lagi ya?" tanya Fika setelah dia berhasil menyelesaikan empat konsep desain undangan yang berkonsep romantis tersebut. Dia menyeruput sedikit kopi susu yang sudah di pesannya.

"Yaudah, ini aja dulu, Fik. Nggak usah dipaksain banyak-banyak." Panji mengambil cangkir berisi kopi susu di dekat Fika, lalu menggantinya dengan segelas jus melon.

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang