17. Diusir

20 0 0
                                    

Happy Reading

Jangan lupa vote bubb biar semangatt :⁠-⁠)

Belum kering luka yang ditorehkan para sahabatnya, sekarang Winda harus menghadapi dua garis di depan mata. Tubuhnya melemas, dia terduduk di lantai kamar mandi dengan terisak pelan. Sudah satu bulan kejadian itu terlewatkan, Winda cukup lega dia tidak mendapati dirinya hamil. Namun, ternyata hari ini tiba juga. Dia harus bisa menerima kenyataan kalau karena kejadian tersebut sekarang dirinya mengandung.

"Winda, kamu baik-baik aja kan?" Suara itu adalah suara mamanya. Winda tidak menjawab. Dirinya belum siap memberitahukan hal penting ini pada sang mama. Bahkan, sejak pulang dari liburan itu, Winda tidak menceritakan apapun. Jadi, Winda bingung harus jujur dari mana nantinya.

"Winda? Jawab mama, Win." Untuk menetralkan suaranya, Winda berdeham pelan. Dirinya menjawab seraya bangkit dari duduknya. Setelah mencuci muka dan menyimpan baik-baik alat tes kehamilan di saku celana, Winda membuka pintu kamar mandi. Tersenyum tipis untuk ditunjukkan ke mamanya jika dia baik-baik saja.

"Ayo, kita makan!" ajak sang mama menarik Winda ke meja makan.

Di meja makan, sudah hadir Johan-sang papa dan kakak perempuan Winda. Mereka menatap Winda dengan tatapan sulit dimengerti. Winda hanya bisa menunduk dan mengisi piringnya dengan nasi. "Kenapa lo muntah-muntah?" tanya Tiara mampu membekukan pergerakan Winda.

"Masuk angin kayaknya, Kak."

"Lo serius? Gak hamil, kan?" Entah kenapa Tiara menduga hal tersebut, semakin menambah kegelisahan dalam diri Winda.

"Ara!" tegur Olin karena merasa Tiara asal bicara.

"Ya siapa tahu aja, Mah. Habis pulang dari liburan apalagi sama cowok, kan gak menutup kemungkinan." Tiara menanggapi mamanya dengan santai. Bahkan dia memasukkan sesuap nasinya dengan tatapan tetap mengarah ke Winda.

Sedangkan Winda hanya diam. Dia berusaha menekan rasa mualnya melihat sayur kangkung di hadapannya. Padahal sebelumnya dia sangat menyukai salah satu sayuran hijau tersebut. Makan siang kali ini, Winda tidak dapat menikmatinya. Dia hanya menyantap beberapa suap saja lalu izin ingin ke kamar dengan alasan tidak enak badan.

Winda hendak menutup pintunya, tetapi Olin tiba-tiba datang dan berdiri di depan pintu kamarnya. Wanita itu tersenyum sejenak. "Mama boleh masuk?" tanya Olin.

"Bo-boleh, Mah."

Winda menutup pintunya tanpa dikunci setelah sang mama masuk ke kamar. Dia menyusul Olin duduk di pinggir kasur. "Kamu beneran sakit? Mau ke rumah sakit?" tanya Olin, tangan kanannya tergerak mengusap rambut sebahu milik Winda.

Mendapat perhatian seperti itu, Winda semakin merasa bersalah. Tanpa bisa ditahan, dirinya menangis. Mendekat pada mamanya dan memeluk erat sang mama. "Mah."

"Ssst tenang ya. Cerita sama mama, kamu ada masalah apa, hm?" ujar Olin, mengusap punggung anak terakhirnya itu. Sebenarnya banyak anggapan hadir di pikiran Olin apalagi Winda lebih banyak diam setelah pulang dari liburan. Akan tetapi dia harus menepisnya. Dia tidak boleh berprasangka buruk terhadap putrinya sendiri.

Cukup lama membiarkan Winda menangis, terdengarlah suara lirih darinya. Dia melerai pelukan dan merogoh saku celana, memperlihatkan benda panjang tak asing di mata Olin. Jantungnya berdebar kencang, dugaannya tidak boleh terjadi. "Maaf, Mah," lirih Winda.

Olin menutup mulutnya terkejut. Air matanya langsung menetes deras. Ternyata benar dugaan Tiara dan pemikirannya. Bagaimana bisa? Pertanyaan itu hanya dalam hati Olin karena dia tidak sanggup membuka mulut saking terkejutnya.

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang