14. Cerita Winda

22 0 0
                                    

Note: yang udah baca bab sebelumnya, harap baca ulang ya ada kesalahan dalam publish ceritanyaaa...

Happy Reading gesss


Fika kembali kesepian setelah Panji dan Zahra memutuskan untuk pulang. Sekarang dia hanya bisa menatap langit-langit kamar rawat rumah sakit yang serba putih itu. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain berbaring di brankar saat ini. Kala ingin mengambil ponselnya yang ada di nakas, pergerakannya terhenti karena pintu rawat dibuka. Ternyata adalah Cakra, akhirnya pria itu datang juga setelah lama meninggalkannya entah ke mana. "Temen kamu udah pulang?" tanya Cakra sembari duduk di kursi samping brankar.

"Sudah." Fika membenarkan posisi berbaringnya, melirik pada Cakra yang kini mengeluarkan ponsel. Jika tadi Fika merasa kesepian, maka sekarang dia merasa kecanggungan. Daripada berada di situasi canggung, lebih baik Fika merasa sepi.

"Nih." Fika mengerutkan kening bingung ketika Cakra menyodorkan ponsel ke arahnya.

"Apa?"

"Saya minta nomor kamu supaya mudah menghubungi." Cakra melakukannya karena tadi saat diperintahkan oleh sang bunda, dia bingung menu makan malam apa yang disukai teman Fika, bundanya justru memerintahkan untuk bertanya pada Fika padahal dia sendiri tidak mempunyai nomor wanita itu.

Fika mengangguk paham, dia mengambil ponsel Cakra dan mengetikkan nomornya di ponsel tersebut. Setelahnya mengembalikan lagi pada Cakra dan disimpan olehnya. Kemudian kembali hening, tidak ada yang ingin membuka topik.

Fika yang tadinya ingin bermain ponsel, menjadi lebih memilih untuk memejamkan mata saja. Namun, belum juga tidurnya pulas, Cakra kembali angkat suara. "Besok kamu sudah bisa pulang," ucap Cakra, mau tidak mau Fika kembali membuka matanya.

"Iya."

"Besoknya pernikahan kita dilaksanakan. Sebelum nikah nanti, kamu ada syarat yang mau diajukan? Saya gak mau membebani kamu sama banyak hal, kamu bisa minta apa aja."

"Tapi satu yang harus kamu tahu. Saya gak mau ada kata 'perceraian' dalam hidup saya sendiri."

Fika seperti kesulitan menelan ludahnya sendiri saat mendengar penuturan Cakra. Dia kira pria apatis seperti Cakra tidak akan pernah berucap hal demikian. Fika kira justru Cakra lah yang akan membahas sebuah perceraian nantinya. Namun, kini dia mendengar penolakan cerai dari Cakra.

"Saya masih mau kuliah. Masih mau mengejar cita-cita sebagai arsitek. Masih pengen membangun rumah untuk adek-adek saya. Dan masih pengen ketemu orang tua kandung saya."

Cakra terdiam mendengar suara Fika yang bergetar. Banyak sekali keinginan wanita di depannya. Entah apa tujuan Fika membeberkan cita-cita padanya, padahal Cakra hanya ingin bertanya syarat pernikahan padanya.

"Kamu masih bisa kuliah. Kamu bisa menjadi arsitek asal kamu yakin. Kalau kamu sukses kamu juga bisa membangun rumah nantinya. Kalau-"

"Saya tahu itu," sela Fika dengan cepat karena merasa respon Cakra berbeda dengan harapannya. Dia kira Cakra akan merespon singkat dan memberinya semangat, tetapi justru memberitahu hal yang sudah Fika tahu.

"Saya cuma gak mau pernikahan ini menghambat cita-cita saya. Gimana cara saya kuliah kalau saya sudah punya anak, bahkan sebelum lulus sekolah."

"Terus kamu nggak terima dengan pernikahan ini?" tanya Cakra, sedikit emosi karena kesabarannya seperti diuji oleh ucapan Fika. Padahal dirinya sudah ingin berbicara baik-baik pada Fika.

"Ya, saya nggak terima. Tapi harus menerimanya kan karena keadaan? Tapi kalau saya boleh minta, entah gimana caranya supaya saya tetap kuliah dan nggak sibuk dengan kehidupan pernikahan. Saya bisa mendapatkan itu? Mengesampingkan keluarga?"

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang