16. Sensitif

27 0 0
                                    

Zahra mengamati sosok pria di depannya yang sibuk memasukkan barang-barang ke bagasi mobil. Memorinya bermain mengacak-acak pikirannya berusaha mencari sosok di depannya. Sepertinya dia pernah melihat pria itu, tetapi di mana. Kenapa dia bisa lupa begitu saja.

"Udah semua?" tanya Cakra setelah semua barang dari kamar Fika ia masukkan ke bagasi mobil.

"Udah."

"Lo beneran kakak angkatnya Fika?" tanya Zahra seraya bersandar di pagar depan kos.

"Iya."

"Kayaknya gue pernah liat lo tapi di mana ya?" celetuk Zahra, semakin memperhatikan Cakra dari atas sampai bawah.

Alis kanan Cakra terangkat, dia sepertinya tidak pernah bertemu Zahra sebelumnya. Akhirnya dia hanya mengangkat bahu tak tahu. Sementara Zahra merasa kurang puas dengan jawaban Cakra. Dia pun menghela napas pelan. "Jujur sama gue, lo kakak angkatnya Fika atau yang udah bikin Fika di situasi sekarang?" tuduh Zahra kemudian.

Dugaan Zahra semakin menguat ketika melihat respon Cakra yang membeku. "Iya kan?" tanya Zahra lagi.

"Itu gak disengaja dan gue udah mau tanggung jawab sama dia," balas Cakra, nadanya terdengar tenang tanpa emosi dan sebagainya. Toh, tuduhan Zahra memang benar.

Zahra mengambil langkah mendekat, dia mendongak agar tatapannya bertemu dengan Cakra yang lebih tinggi darinya. Mengingat kesedihan Fika saat itu, dia membenci pria di depannya sekarang. "Lo tahu? Kehidupan Fika udah susah dari awal! Dan lo bilang gak sengaja? Dasar!"

"Namanya juga kecelakaan. Gue pamit permisi!" pamit Cakra lantas pergi masuk ke mobil daripada berdebat dengan Zahra.

Mata Zahra membola, padahal tangannya sudah mengepal erat siap untuk memberikan bogem ke pria menyebalkan itu, tetapi kini mobil hitamnya malah sudah melesat jauh. "Dasar! Cowok apaaan kayak gitu, ha?!" teriak Zahra meluapkan emosi.

***

"Nah, jadi untuk malam ini kamu tidur sama tante ya? Terus setelah nanti pernikahan, baru kamu bisa tidur sama Cakra."

Fika membeku mendengar penjelasan Winda setelah dia duduk di sofa ruang tengah. Pernikahan? Rasanya dia belum siap untuk menuju jenjang tersebut. "Em, kalau saya tetep tidur sama tante gimana?" tawar Fika. Belum pernah ia bayangkan jika akan tidur dengan pria dewasa, seperti apa jadinya nanti. Beda lagi untuk malam kesalahan saat itu, malam itu di luar kendali Fika.

"Kenapa gitu? Kan kalian sudah menikah nantinya?" tanya Winda.

"Sa-saya gak berani."

"Cakra gak gigit loh, Fika."

Fika mengangkat sudut bibirnya, terlihat gigi putih itu dan meringis lirih. "Ya tetep aja, Tante. Masih canggung."

"Pelan-pelan pasti bisa kok. Nanti kadang-kadang kamu boleh tidur sama tante."

Bibir Fika maju, masih khawatir akan nasibnya nanti jika harus tidur bersama Cakra. Meskipun sudah menikah nanti, tetapi ini adalah pertama kalinya dia akan lebih dekat dengan seorang pria. Selama ini Fika hanya mengobrol dengan pria yang memang penting saja, seperti Panji misalnya. Panji adalah ketua osis, sementara dia sekretaris osis jadi memang harus ada interaksi.

Namun, jika dengan Cakra apa bahan obrolan mereka nanti? Di rumah sakit saat Cakra menemaninya saja mereka sudah seperti orang asing di persidangan. Membahas pernikahan dan obrolannya terkesan kaku.

Menyadari kegelisahan yang dirasakan Fika, Winda pun mengusap pundak wanita itu. Memberikan pijatan lembut. "Gak usah khawatir, Nak. Nanti lama-lama juga terbiasa. Tenang aja, oke? Tante ngawasin kamu selalu kok."

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang