13. Berpikir Positif

28 0 0
                                    

"Terus jadinya gimana?"

"Ya ada waktu seminggu, Fik, tapi lo beneran gapapa?"

Fika tersenyum lagi mendengar pertanyaan Panji yang sudah berulang-ulang itu. Ingin rasanya dia mengunci mulut Panji agar berhenti bertanya padahal sudah ia jawab. "Iya, Panji. Astaga ...."

"Gue khawatir, Fika. Lo beneran gak sadar apa pura-pura gak sadar?" balas Panji. Keduanya sama-sama terlihat menahan kesal yang ditutupi dengan senyum terpaksa.

Terdengar helaan napas pelan keluar dari bibir Fika. Dia membenarkan posisi duduknya. "Iya iya, gue tahu. Makasih atas kekhawatirannya, tapi beneran gue gak papa."

"Hafika Xaquilla!" Seruan itu terdengar bersamaan dengan pintu ruang rawat yang dibuka. Sesosok berambut panjang dengan napas tersengal-sengal menatap tajam pemilik nama yang baru di sebutnya. Tatapan itu membuat Fika merinding seolah ia akan dibunuh saat itu juga.

"Lo bener-bener ya! Gue pengen bunuh lo rasanya!" seru Zahra menghampiri Fika dengan langkah kekesalan.

Fika bergidik seram, mengerikan sekali tatapan dan suara Zahra. Sudah seperti ibu kunti meminta tumbal. "Jangan, Zah. Gue udah susah payah buat berjuang hidup masa mati gitu aja di tangan lo," ucap Fika. Tangannya terangkat seolah ingin memeluk Zahra.

Zahra yang peka pun langsung mendekat dan memeluk sahabatnya itu. Mereka berpelukan seperti sudah lama berpisah saja dan saling merindukan. Nyatanya pelukan itu adalah sebuah pelukan kekuatan. Zahra menguatkan Fika dari keadaannya dengan sebuah pelukan. "Gue di sini, jangan khawatir," bisik Zahra mengusap lembut punggung Fika.

Tak lama Zahra melerai pelukan mereka, menyunggingkan senyum yang ia tujukan pada Fika. "Gimana keadaan lo sampai bisa dirawat gini?" tanya Zahra.

"Cuma butuh istirahat kok."

"Alah!" sembur Zahra, dia pun menaruh bingkisan buah yang ia bawa ke nakas. Saat itu  dia baru melihat ada seorang laki-laki dengan kemeja biru tuanya.

"Eh, ada temen lo ternyata?" ucap Zahra menatap kaget ke arah Panji.

"Heem. Temen SMA merangkap jadi tukang promosi."

"Oalah. Kenalin, temen kosnya Fika sekaligus kakaknya dia," ujar Zahra seraya menyodorkan tangannya menjabat Panji.

Panji membalas uluran tangan Zahra dengan senyum tipis. "Panji."

"Serius cuma temen? Kok jenguknya sendirian? Kayak ada perasaan personal," lontar Zahra sedikit menyelipkan sindiran. Sebetulnya dia pernah melihat Panji berada di area indekos entah untuk mengantar Fika atau sekadar bertemu Fika, tetapi baru sekarang ia mengenal nama pria itu.

Fika memutar bola mata dengan malas. "Temen."

"Jahat banget lo, Fik, sumpah. Tuh liat tatapan Panji langsung sendu denger jawaban lo."

"Mending pulang aja deh sana! Ke sini cuma mau godain gue," geram Fika, tangannya ia kepalkan seperti ingin memberi bogem pada Zahra.

Zahra pun tertawa, puas karena sudah mengerjai Fika. "Iya-iya elah. Bercanda doang."

"Eh, tapi gue ganggu kalian gak?" lanjut Zahra bertanya, sebab kedatangannya tadi langsung, tanpa mengetuk pintu.

"Ganggu banget!" jawab Fika mengeluarkan rasa kesalnya dengan menjawab keras.

"Astaga, segitu gak terimanya ya ada orang ketiga di antara kalian," balas Zahra kembali melontarkan candaannya.

"Terserah!"

Zahra kembali tertawa. Mereka bertiga pun akhirnya larut dalam perbincangan ringan. Zahra sudah seperti wartawan dalam hubungan Panji dan Fika, padahal keduanya benar-benar hanya teman setidaknya begitulah anggapan Fika. Berbeda dengan Panji yang ingin hubungan mereka lebih dari sekadar teman masa SMA ataupun teman organisasi saat di sekolah dulu.

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang